Sunday, April 21, 2013

PEMAHAMAN DASAR TENTANG POLITIK PRAGMATIS

Term pragmatis yang digunakan dalam tulisan ini selalu dibaca dalam bingkai orientasi politik yang selalu mengarah pada pencapaian kekuasaan politis dalam sebuah sistem pemerintahan. Pencapaian kekuasaan dilihat sebagai kulminasi dari seluruh aksi politis. Di sini penulis mengemukakan beberapa pengertian pragmatis yang seyogianya digunakan sebagai landasan pemikiran untuk memahami konsep pragmatis pada frasa politik pragmatis dalam keseluruhan karya ini.
Dasar pemikiran pragmatis adalah kebenaran dan arti semua gagasan selalu dikaitkan dengan konsekuensi-konsekuensinya yaitu hasil dan kegunaannya. Gagasan-gagasan itu merupakan pedoman bagi aksi atau tindakan dan bagi rekonstruksi kreatif atas pengalaman dalam berhadapan dan penyesuaian dengan pengalaman-pengalaman baru. Jadi, kebenaran dilihat sebagai sesuatu yang bernilai praktis dalam pengalaman hidup kita dan sifatnya tentatif, selalu berubah-ubah.
Kamus Besar Ilmu Pengetahuan mendefiniskan term pragmatis sebagai berikut: pertama, pragmatis berarti bersifat mengutamakan segi kepraktisan dan kegunaan (kemanfaatan), bersifat memperlakukan kenyataan dan masalah secara realistis. Kedua, pragmatis diambil dari bahasa Yunani yakni pragma yang berarti kegiatan, pekerjaan, menyangkut akibat, sesuatu yang dibuat. Pokok pikiran dari term pragmatis adalah sebagai berikut: 
  1. Pengetahuan harus digunakan untuk memecahkan masalah-masalah sehari-hari dan mesti            berhubungan dengan praktek dan aksi.
  2. Kebenaran dan arti satu gagasan, teori, konsep, keyakinan harus dikaitkan dengan hasil dan kegunaannya dalam pengalaman hidup praktis manusia.
  3. Kebenaran itu berubah-ubah serta bersifat tentatif. Aliran ini dipelopori oleh Charles S. Pierce (1839-1914), William James (1824-1910), dan kemudian dikembangkan oleh John Dewey (1859-1952). Menurut Pierce,  nilai suatu pengertian bergantung pada penerapannya dalam masyarakat. Pengetahuan manusia itu benar bukan karena memantulkan atau menciptakan kenyataan melainkan terbukti bermanfaat bagi umum. Menurut John Dewey tiap-tiap organisme melakukan perjuangan terus-menerus terhadap alam sekitarnya dan memperkembangkan alat (instrumen) demi membantu perjuangan tersebut. Perjuangan organisme itu bertujuan untuk mempertahankan hidup. Tujuan mempertahankan hidup menjadi dasar bagi penciptaan instrumen penunjang.


  Dari penjelasan di atas, pragmatis sebagai pola tingkah laku mengutamakan segi kepraktisan sebuah konsep dalam kehidupan sehari-hari. Konsep atau pengetahuan seseorang sangat menentukan tindakannya. Konsep pragmatis juga berdampak pada tindakan pragmatis, di mana tindakan pragmatis ini berorientasi pada pencapaian tujuan praktis. Segi kepraktisan ini berkaitan dengan kegunaan atau tujuan sebuah tindakan. Dalam usaha untuk mencapai tujuan itu seorang yang bertindak pragmatis membebaskan diri dari semua tuntutan atau prinsip-prinsip dasar yang bersifat universal. pemikiran pramatis menolak adanya ukuran tunggal yang menjadi dasar penilaian bagi semua tindakan manusia.
Satu-satunya pegangan dalam tindakan pragmatis adalah pencapaian tujuan yang dikejar, dan tujuan itu bermanfaat atau berguna bagi dirinya secara praktis. Richard Rorty, seorang pendukung pemikiran pragmatis menegaskan bahwa fundasionisme mesti ditolak karena mereduksi tindakan, sikap dan perasaan manusia sebagai satu keseluruhan. Rorty mengeritik pemikiran Immanuel Kant yang meletakan rasionalitas sebagai satu bentuk fundasionisme di mana seluruh tindakan manusia dinilai dari sisi tilik rasional.  Bagi Rorty rasionalitas mereduksi kekayaan manusia sebagai satu pribadi yang memiliki pikiran, perasaan dan keterarahannya ke masa depan. Oleh karena itu, fundasionisme mesti ditolak dan pegangan setiap orang dalam hidupnya adalah situasi konkrit yang dihadapinya dan bagaimana situasi itu diarahkan untuk mencapai sesuatu yang dicita-citakan. 
Pencampakan fondasi dasar sebagai rujukan dalam tindakan menghasilkan aneka cara setiap orang untuk mencapai tujuan yang dikejarnya. Orang dapat menggunakan cara yang irasional kalau hal itu memang mungkin untuk mencapai hasil atau tujuan yang diinginkannya. Atau orang bisa bertindak sangat bermoral kalau memang hal itu menunjang pencapaian tujuan yang mau dicapainya. Di sini tindakan bermoral selalu dilihat dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan. Kalau tindakan bermoral itu justru menghambat pencapaian tujuan maka ia mesti ditinggalkan dan beralih kepada tindakan imoral. Karena itu, kebenaran tindakan pragmatis untuk mencapai tujuan bersifat tentatif dan berubah-ubah.


 Politik Pragmatis


Pembahasan pada bagian politik di atas memperlihatkan bahwa aktivitas politik itu terjadi dalam satu negara (state) dan berkaitan dengan persaingan merebut kekuasaan (power) di mana kekuasaan yang legitim secara politis itu mengambil keputusan ( decision making), kebijakan publik (Public policy) dan alokasi atau distribusi (alocation or distribution) sumber daya yang pada akhirnya bermuara pada kebahagiaan bersama atau seluruh warga negara. Jadi, aktivitas politik mengarah pada perebutan kekuasaan yang legal agar memperoleh legitimasi untuk menciptakan keteraturan dan menjamin keadilan dalam masyarakat.
Keadilan dan keteraturan dalam kehidupan bersama ini menjadi basis dan tujuan dari seluruh perjuangan politik. Politik merupakan satu dimensi dalam diri manusia (dimensi politis) yang memungkinkan setiap orang mengambil bagian dan bertanggung jawab dalam hidup bersama demi kebaikannya sebagai manusia dan kebaikan hidup bersama dalam masyarakat atau negara.
Sedangkan kata pragmatis sebagaimana dijelaskan di atas adalah  pola tingkah laku yang mengutamakan segi kepraktisan sebuah aksi dalam kehidupan sehari-hari. Segi kepraktisan ini berkaitan dengan kegunaan atau tujuan sebuah tindakan. Dalam usaha untuk mencapai tujuan itu, seorang yang bertindak pragmatis membebaskan diri dari semua tuntutan atau prinsip-prinsip dasar yang bersifat universal. Satu-satunya pegangan dalam tindakan pragmatis adalah pencapaian tujuan yang dikejar, dan bagaimana tujuan itu bermanfaat atau berguna bagi dirinya secara praktis.
Dengan demikian, politik pragmatis adalah politik yang berorientasi pada pencapaian tujuan dari aktivitas politik. Tujuan politik dalam kerangka pragmatis bukan lagi pencapaian kebaikan bersama atau untuk mengatur kehidupan bersama secara adil melainkan direduksi hanya pada pencapaian kekuasaan semata-mata. Pencapaian kekuasaan menjadi unsur tunggal dalam berpolitik, sehingga semua modal politik dikerahkan untuk mencapai kekuasaan.
Politik pragmatis ini ditandai dengan fakta politik berikut: menjamurnya pendekatan politik pencitraan, politik identitas, politik uang dan juga maraknya caleg artis, politisasi hukum serta ramainya koalisi partai politik untuk meningkatkan daya tawarnya kepada masyarakat-koalisi partai politik di sini bukan berdasarkan kesamaan ideologi melainkan sekedar untuk memenuhi persyaratan untuk mengikuti bursa pencalonan presiden atau anggota legislatif. Kenyataan-kenyataan ini menjadi tanda nyata keterarahan politik pada kekuasaan. Jadi, dalam politik pragmatis tujuan politik yaitu demi mencapai kekuasaan semata-mata meski harus meninggalkan etika politik dan aturan main yang ditetapkan.
Term politik pragmatis dipahami dalam kerangka transaksional, di mana aktivitas politik hanya bertujuan untuk menggiring pemilih ke balik bilik suara atau berpolitik hanya sekedar memobilisasi dan berburu pendukung dengan jalan mengumbar janji yang muluk-muluk dan menghipnotis pemilih dalam pemilu. Janji politik yang jauh dari kenyataan sekedar untuk menggiring pemilih ke balik bilik suara agar memperoleh legitimasi kekuasaan atas nama rakyat.

        Legitimasi Kekuasaan

     Kekuasaan

“Authority is a relationship in which one person or group is able to determine the action of another in the direction of the former’s ends.” Kekuasaan adalah suatu relasi di mana seorang atau sekelompok orang dapat mendeterminasi atau menentukan tindakan seorang atau sekelompok orang lain sesuai dengan kehendak orang yang berkuasa itu. Di sini, kekuasaan dilihat sebagai kekuatan yang  mempengaruhi dan mengarahkan tindakan dan pikiran orang yang melimpahkan wewenangnya kepada sekelompok orang  yang berkuasa.
Penguasa selalu berusaha untuk mendapatkan kepatuhan dari orang yang dikuasainya.Kelanggengan sebuah kekuasaan tergantung sejauh mana orang yang dikuasai itu patuh pada kekuasaan tersebut. Kepatuhan mutlak pada kekuasaan akan menciptakan kekuasaan yang mutlak pula dan cendrung kekuasaan yang demikian bersifat otoriter. Sebaliknya pemberontakan total terhadap semua kebijakan  kekuasaan menyebabkan berakhirnya riwayat kekuasaan itu. Biasanya penguasa selalu melakukan resistensi yang kuat untuk mempertahankan kekuasaannya apabila terjadi pemberontakan. Resistensi terhadap kekuasaan ini tak jarang dilakukan dengan kekerasan seperti mengerahkan kekuatan militer untuk menekan kelompok pemberontak.
Dalam negara demokrasi, pelimpahan wewenang rakyat kepada penguasa diatur oleh konstitusi negara. Maka pelaksanaan kekuasaan pun harus disesuaikan dengan konstitusi negara. Apabila pelaksanaan kekuasaan tidak diatur dalam konstitusi negara maka kekuasaan dalam negara tersebut cenderung menjadi sewenang-wenang. Karena itu, pelaksanaan kekuasaan dalam sebuah negara mesti diawasi agar implementasi kekuasaan itu berjalan seimbang sesuai dengan kehendak rakyat.  Pengawasan terhadap kelakuan kekuasaan itu hadir dalam bentuk institusi yang mesti diakui bersama oleh semua warga negara. Institusi ini disebut hukum. Jadi, hukum menjadi landasan atau kerangka dasar bagi semua kelakuan warga negara entah ia sebagai penguasa maupun rakyat jelata. Hukum yang sehat mesti dibangun atas dasar penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia.
Dasar kekuasaan dalam negara demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dengan kata lain, kedaulatan kekuasaan itu ada pada rakyat. Selanjutnya kekuasaan itu dipakai untuk mengatur kehidupan bersama agar cita-cita dan tujuan hidup bermasyarakat bisa terpenuhi. Dengan demikian, kekuasaan dalam negara demokrasi dilihat sebagai sarana untuk mencapai kehidupan bersama yang adil dan merata.
Indonesia sebagai negara demokrasi, di mana kekuasaan ada di tangan rakyat, jalan menuju kekuasaan ditempuh melalui jalur perjuangan partai politik. Partai politik-partai politik berusaha untuk merebut konstituen dalam rangka melegitimasi perjuangan elite partai untuk  mencapai tampuk kekuasaan. Persaingan merebut simpati rakyat tidak jarang dijalankan dengan kebohongan melalui janji-janji politik yang muluk-muluk kepada masyarakat.
Konstituen atau masyarakat dimanipulasi melalui janji politik yang muluk-muluk untuk kepentingan sepihak kaum elit yang haus akan kekuasaan. Rakyat dibodohi dan diarahkan untuk memenuhi hasrat kuasa kaum elit dengan aneka janji politik yang sangat menggelikan. Entahkah kekuasaan dalam konteks negara demokrasi seperti Indonesia yang dicapai melalui penipuan dan pembohongan publik ini mampu menciptakan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat sebagaimana tujuan kekuasaan itu? Sebelum menjawab pertanyaan yang menjadi tesis kunci dari seluruh karya ini, penulis coba menelisik bagaimana legitimasi kekuasaan itu berlangsung dalam negara khususnya di Indonesia.

 Legitimasi Kekuasaan dalam Negara Demokrasi


Secara umum legitimasi dipahami  sebagai pengesahan sesuai dengan aturan dan hukum yang berlaku. Hukum dalam satu negara diakui atau diterima oleh semua warga negara sebagai sarana untuk menjamin tatanan hidup bersama yang adil. Dengan demikian, legitimasi juga bertalian dengan pengakuan seluruh masyarakat dalam satu organisasi atau negara.
Legitimasi kekuasaan adalah pengakuan bersama seluruh masyarakat di mana sesuatu atau seseorang diterima sebagai yang benar dan tepat untuk memegang tampuk kekuasaan. Dalam ilmu politik, legitimasi biasanya dipahami sebagai penerimaan dan pengakuan publik atas sebuah otoritas dari sebuah rezim pemerintahan, dimana otoritas memiliki kekuatan politik melalui persetujuan dan pemahaman bersama, bukan pemaksaan.
Max Weber, sosiolog Jerman, membedakan dan menjelaskan tiga tipe legitimasi atas kekuasaan sebagai berikut: Tipe pertama adalah kekuasaan yang dilegitimasi secara rasional-legal. Legitimasi kekuasaan rasional legal ini dibentuk berdasarkan peraturan formal yang ditetapkan oleh negara. Kekuasaan rasional legal ini ditetapkan dalam konstitusi negara bersangkutan. Kekuasaan pada masyarakat modern pada umumnya dilegitimasi dengan cara rasional-legal ini. Weber menulis, “The first is Rational-legal authority. It is that form of authority which depends for its legitimacy on formal rules and established laws of the state. The power of the rational legal authority is mentioned in the constitution. Modern societies depend on legal-rational authority.”   Jadi, kekuasaan dilegitimasi menurut peraturan normatif dan rasional serta melalui kepercayaan masyarakat bahwa pemerintah akan mematuhi hukum yang memberikan legitimasi atas kekuasaan tersebut.
Legitimasi kekuasaan kedua adalah legitimasi tradisional, yakni legitimasi yang bersumber dari adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan struktur sosial yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Legitimasi kekuasaan yang diwariskan berdasarkan garis keturunan dan berdasarkan sejarah termasuk dalam jenis legitimasi tradisional legal. Kualifikasi individual bukan menjadi rujukan untuk melegitimasi kekuasaan dalam jenis legitimasi tradisional ini. “The second type of legitimation is Traditional legal, which derives from long-established customs, habits and social structures. When power passes from one generation to another, then it is known as traditional authority.”
Bentuk legitimasi kekuasaan ketiga adalah karismatik legal. Di sini, karisma individu atau pemimpin memainkan peran penting. Legitimasi kekuasaan berdasarkan karismatik berarti kekuasaan yang diperoleh seseorang diakui berasal dari "karunia rahmat" atau pemimpinnya menganggap bahwa kekuasaan yang diperolehnya berasal dari "kekuatan yang lebih tinggi" (misalnya Tuhan atau hukum alam).
The third form of legitimation is Charismatic legal. Here, the charisma of the individual or the leader plays an important role. Charismatic legal is that legitimation which is derived from "the gift of grace" or when the leader claims that his authority legitimation is derived from a "higher power" (God or natural law).
 Sebuah pemerintah karismatik biasanya memiliki lembaga-lembaga politik dan administrasi yang lemah, karena mereka memperoleh wewenang dari kharisma individu. Bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh jenis legitimasi karismatik legal ini adalah aktivitas politik dari pemimpin yang dianggap mempunyai kharisma dijadikan sebagai sistem politik keseluruhan masyarakat. Dengan kata lain sistem politik sebuah organisasi atau negara ditempatkan di bawah perilaku politis individu. Padahal semestinya perilaku politik individu tunduk di bawah sistem politik  masyarakat keseluruhan dalam satu negara. Legitimasi kekuasaan berdasarkan kharismatik legal memberi peluang yang cukup besar bagi terciptanya pemimpin totaliter.
Bila dikaitkan dengan konteks di Indonesia rumusan Weber ini dapat dijadikan sebagai alat analisis untuk melihat bentuk-bentuk kekuasaan yang diterapkan selama ini. Setelah Indonesia merdeka dan mempunyai sebuah konstitusi yaitu UUD 1945, Indonesia mendeklarasikan diri sebagai negara hukum. Dengan demikian segala sesuatu yang berkaitan dengan negara harus berdasarkan hukum yang berlaku. Di sinilah kita lihat bahwa Indonesia mengakui hukum sebagai dasar utama dalam melakukan berbagai hal, termasuk di dalamnya melakukan proses legitimasi kekuasaan.
Untuk melegitimasi sebuah kekuasaan yang diberikan kepada seseorang, berbagai proses hukum harus dilalui secara benar. Proses legitimasi kekuasaan yang diakui secara hukum di Indonesia dicapai melalui pemilu. Pemilu merupakan wujud pelaksanaan dari demokrasi, yaitu pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Legitimasi kekuasaan yang menggunakan kekerasan, penindasan dan dominasi yang begitu kuat baik secara fisik maupun non fisik yang pada akhirnya menciptakan ketaatan palsu karena dihantui oleh rassa takut dianggap tidak sah.
Pemilu merupakan proses demokrasi dalam menentukan pemimpin yang akan melaksanakan amanat rakyat. Melalui pemilu diharapkan muncul pemimpin atau wakil rakyat yang betul-betul mempresentasikan rakyat dan mampu mengemban amanat rakyat. Pemilu sebagai proses legitimasi kekuasaan di negara demokrasi seperti Indonesia mempunyai aturan-aturan dalam pelaksanaannya. Aturan-aturan tersebut dibuat dalam rangka mengendalikan proses pelaksanaan pemilu agar dalam pelaksanaan pemilu itu tidak terjadi perampasan terhadap hak-hak asasi rakyat.
Di sinilah peran hukum sangat dibutuhkan untuk menjadi pengendali kekuasaan dalam sebuah negara demokrasi. Kebebasan dalam berdemokrasi sering kebablasan karena dipengaruhi oleh sikap pragmatis yang bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan semata. Untuk mengendalikan demokrasi dibutuhkan penegakan hukum yang kuat agar asas-asas demokrasi yang mengedepankan hak-hak asasi manusia bisa terwujud.
Moral dasar kenegaraan modern mensyaratkan bahwa kekuasaan harus dijalankan sesuai dengan martabat manusia. Oleh sebab itu, kekuasaan mesti dilegitimasi secara demokratis yaitu melalui hukum yang diakui oleh seluruh warga negara dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Hukum itu harus bersifat positif dalam arti hukum itu diundang-undangkan dan dalam pelaksanaannya bersifat memaksa. Walaupun hukum positif itu sifatnya memaksa tetapi ia mesti tetap menjamin kebebasan individual setiap warga negaranya.
Legitimasi kekuasaan secara demokratis mengandaikan kehendak atau tujuan masyarakat menjadi rujukan dalam pengambilan kebijakan konkret yang merupakan pengejawantahan kekuasaan. Prinsip ini mempunyai relevansi politis yang tinggi yang menegaskan bahwa semua tindakan dan kebijakan harus terarah pada pencapaian keuntungan sebesar-besarnya bagi orang sebanyak-banyaknya. Dengan kata lain, semua orang harus diperlakukan sama sesuai dengan martabat mereka sebagai manusia, dan harus berkedudukan sama dalam masyarakat dengan hak-hak dasar yang sama.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa  kekuasaan politis dalam sebuah negara demokrasi seperti Indonesia dilegitimasi secara sosiologis, legal dan etis. Legitimasi sosiologis maksudnya kekuasaan itu diterima dan diakui oleh seluruh masyarakat dalam satu organisasi atau negara. Warga negara mengakui bahwa kekuasaan yang ada pada seseorang atau kelompok orang tertentu itu adalah wajar dan patut dihormati. Legal merujuk pada kesesuaian dengan hukum atau peraturan yang berlaku. Legitimasi kekuasaan secara legal berarti kekuasaan itu dicapai dan dijalankan sesuai dengan aturan atau hukum yang berlaku. Sementara legitimasi etis sebuah kekuasaan maksudnya proses pencapaian dan pengejawantahan kekuasaan itu harus merujuk pada pengartikulasian tuntutan-tuntutan kemanusiaan yang adil dan beradab. 
Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan bahwa politik pragmatis adalah politik yang mengarahkan seluruh aktivitas politik untuk mencapai kekuasaan. Kekuasaan dalam kerangka pemikiran politik pragmatis dilihat sebagai tujuan akhir dari politik. Konsep dasar politik sebagai sarana untuk mengabdi kepada masyarakat yaitu untuk menciptakan hidup bersama yang adil dan merata diabaikan dalam politik pragmatis. Kekuasaan bukan lagi sebagai sarana pelayanan kepada masyarakat melainkan sebagai tujuan akhir dari seluruh perjuangan politik (kekuasaan mempunyai tujuan dalam dirinya sendiri). 
Pemilu 2009 lalu ditandai dengan tingginya intensitas persaingan. Banyaknya partai politik yang ikut bersaing merebut kekuasaan dalam pemilu 2009 menciptakan suhu persaingan politik yang tinggi dan pada akhirnya mendorong lahirnya politik pragmatis. Bagaimana wujud nyata politik pragmatis itu dalam pemilu 2009 lalu merupakan inti pembahasan penulis dalam bab III karya ini.

No comments:

Post a Comment