Sunday, April 21, 2013

ANALISIS PERSAINGAN POLITIK


            Pemilihan Umum (pemilu) dipandang sebagai cara terbaik untuk mengalihkan atau mempertahankan kekuasaan dalam negara demokrasi seperti Indonesia. Matori Abdul Djahlil memberikan beberapa pertimbangan tentang pentingnya peralihan kekuasaan dan kepemimpinan yang ditempuh melalui jalur pemilu adalah sebagai berikut: pertama, pemilu memberikan kepastian terhadap alih kepemimpinan dan kekuasaan (transfer of leader and power) secara konstitusional untuk melahirkan kepemimpinan yang legitimatif. Dengan kata lain, pemilu mampu melahirkan sistem pemerintahan yang representatif sesuai dengan kehendak rakyat.     
            Kedua, pemilihan umum adalah wujud dari pelaksanaan kedaulatan rakyat secara mendasar di negara demokrasi. Keterlibatan rakyat dalam pemilu merupakan wujud dari partisipasi rakyat dalam mengatur hidup bernegara. Sebab itu, pemilu yang baik mesti menempatkan rakyat sebagai aktor yang otonom dalam menentukan pilihannya dengan penuh kebebasan. Dan pemilu yang buruk terjadi apabila rakyat dimobilisir tanpa mengetahui untuk apa ikut berpartisipasi dalam pamilu.  
Ketiga, pemilu dapat menjadi filter kepercayaan rakyat terhadap partai politik. Dengan kata lain, pemilu menjadi wahana rekrutmen terakhir untuk menyeleksi aktor politik dan partai politik yang dianggap layak menjadi wakil rakyat di parlemen dan pemerintahan. Tanpa pemilu sulit untuk diketahui partai politik dan pemimpin mana yang mendapat kepercayaan rakyat.  Dengan demikian,  pemilu menjadi sumber formal kepemimpinan nasional.
Dalam terang ketiga kerangka pentingnya pemilu di atas penulis menelisik dinamika pemilu 2009 lalu. Ada beberapa fakta pemilu 2009 lalu yang sangat menarik untuk dianalisis yaitu kampanye politik menempuh jalur pintas, penerapan sistem marketing politik, possitioning politik yang tidak jelas, tampilnya para artis dalam bursa pencalonan anggota legislatif, hebohnya koalisi partai politik dan munculnya aneka pelanggaran dalam pemilu. Persoalan-persoalan ini menjadi fokus analisis penulis dalam tulisan ini. Analisis ini tidak bermaksud mengeritik seluruh tahapan pemilu secara runtut tetapi menganalisis pada bagian-bagian tertentu dalam proses pemilu yang dipandang penulis melanggar prinsip dasar demokrasi yaitu menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.

 Kampanye Politik  

Kampanye politik berkaitan dengan pembentukan image politik di kalangan masyarakat luas. Dalam kampanye politik terdapat dua hubungan yang akan dibangun yaitu hubungan internal dan eksternal. Hubungan internal kampanye politik menciptakan ikatan ideologis dan identitas antara anggota partai dan pendukungnya. Sedangkan hubungan eksternal berarti mengkomunikasikan image politik dengan pihak luar partai termasuk media massa. Kampanye politik dibedakan atas dua jenis yaitu, pertama kampanye menjelang pemilu (short-term) dan kampanye jangka panjang.

Kampanye Menjelang Pemilu

Kampanye politik menjelang pemilu ini biasa disebut short-term campaign.  Kampanye ini merupakan salah satu tahapan dari seluruh rangkaian kegiatan pemilu. Dalam ketentuan umum undang-undang no.12 tahun 2003 tentang pemilu dikatakan bahwa kampanye pemilu merupakan wadah yang digunakan oleh partai politik atau peserta pemilu untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan program-programnya menjelang pemilu sesuai dengan ketentuan KPU. Masa kampanye menurut Undang-undang ini adalah selama tiga Minggu dan tiga hari menjelang pemilu adalah masa tenang dimana segala aktivitas politik dihentikan.  
Hemat penulis manuver politik di Indonesia, terutama menjelang pemilu berangkat dari pemahaman yang keliru atas undang-undang ini. Riak aktivitas partai politik menjelang pemilu 2009 lalu pun bertolak dari pemahaman yang keliru atas undang-undang ini. Undang-undang ini menyebut ‘kampanye pemilu’ untuk aktivitas peserta pemilu menjelang pemilu yang meliputi penyampaian program kerja. Secara inplisit undang-undang ini membedakan kampanye pemilu dari kampanye politik. Kampanye pemilu adalah bagian terkecil dari kampanye politik. Kampanye politik dan kampanye pemilu sesungguhnya saling melengkapi dan bukannya saling menggantikan. Bila ditelisik dari segi dinamika partai politik menjelang pemilu 2009 lalu penulis berkesimpulan bahwa peserta pemilu 2009 memahami kampanye politik sama dengan kampanye pemilu. Indikasi dari kenyataan ini adalah seluruh aktivitas politik direduksir dalam kampanye pemilu. Bukan hanya program kerja yang menjanjikan perubahan yang ditawarkan dalam kampanye pemilu melainkan juga janji-janji politik yang muluk-muluk untuk mengelabui pemilih (rakyat). Peserta pemilu 2009 mengerahkan seluruh trik-trik politiknya untuk memenangkan persaingan walaupun hal itu melanggar ketentutan pemilu seperti money politics.
Ada beberapa kelemahan dari kampanye politik jangka pendek ini, pertama, interaksi politik antara partai politik dan publik hanya terjadi pada periode tertentu. Tujuan interaksi dalam waktu singkat itu adalah mempengaruhi atau bahkan mengelabui publik dengan aneka janji politik untuk memenangkan pemilu. Padahal interaksi politik itu harus bersifat permanen dan berkesinambungan untuk menciptakan pemahaman publik tentang partai politik agar tercipta ruang dialog antara masyarakat dan partai politik tersebut.
Kedua, kampanye politik  jangka pendek menempatkan rakyat sebagai obyek politik yang digunakan untuk memberi suara dan memenangkan pemilu. Ketika periode kampanye politik selesai masyarakat menjadi tidak penting lagi. Pesan dan janji politik tenggelam dalam hiruk-pikuk pembagian kekuasaan. Publik dipinggirkan dari dialog politik. Ketiga, kampanye politik sesungguhnya adalah proses pendidikan politik kepada masyarakat. Kampanye jangka pendek menjadikan pendidikan politik ini tidak komprehensif. Masyarakat diposisikan sebagai konsumen yang pasif dan menunggu untuk dimobilisasi ke bilik-bilik suara.
Pemosisian masyarakat sebagai konsumen politik yang semata-mata pasif dan hanya menunggu untuk dimobilisasi ke bilik-bilik suara saat pemilu sebagai dampak dari kampanye politik jangka pendek melahirkan sikap apatis masyarakat terhadap kampanye politik itu sendiri dan terhadap pemilu.  Masyarakat melihat kampanye politik jangka pendek hanya sebagai hingar-bingar politik semata berupa penempelan atribut partai, rapat akbar, undangan makan gratis, konser para artis dan bagi-bagi kaos. Kampanye kehilangan arti dasarnya sebagai momen pemaparan program kerja peserta pemilu. Efek lanjutannya adalah pemahaman masyarakat tentang peserta pemilu tidak komprehensif sehingga melahirkan sikap apatis terhadap penyelenggaraan pemilu. Sikap apatis ini selanjutnya diartikulasikan dengan tidak memberikan pilihan pada salah satu peserta pemilu (golput) dalam pemilu.
Dalam pemilu 2009 jumlah golput mencapai 49. 677. 075 suara dari jumlah pemilih 171. 265.441. Dari jumlah seluruh pemilih dalam pemilu 2009 ini masih dikurangi dengan jumlah suara tidak sah dalam pemilu yang mencapai 17. 488. 581. Suara sah dalam pemilu 2009 adalah 104. 099. 785 suara. Dengan demikian jumlah suara yang golput hampir mencapai setengah dari suara sah pemilu 2009 yaitu 49. 677. 075 suara. Jumlah ini jauh lebih besar dari jumlah perolehan suara partai Demokrat sebagai partai pemenang pemilu 2009 yang hanya meraih 21. 703. 137 suara. Angka ini menunjukkan gagalnya peserta pemilu dalam kampanye pemilu 2009 sehingga menuai sikap apatis masyarakat.
 Kampanye jangka pendek sebagaimana yang terjadi dalam pemilu 2009 lalu gagal memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.  Kegagalan ini terjadi karena partai-partai politik peserta pemilu hadir di hadapan publik pada saat kampanye pemilu semata dan mengumbar janji akan membawa perubahan menuju kesejahteraan masyarakat. Mekanisme kampanye politik seperti ini tentu tidak menciptakan pemahaman politik masyarakat yang memadai atau konprehensif sehingga menciptakan masyarakat yang anonim terhadap aktivitas partai politik peserta pemilu. Partai politik yang sekedar memerhatikan publik pada periode pemilu semata sama dengan melakukan eksploitasi publik atau masyarakat untuk mencapai tujuan hasrat kekuasaannya semata. Dengan demikian, kampanye politik jangka pendek adalah salah satu bentuk pengkianatan terhadap demokrasi yang semestinya di mana rakyat harus dijunjung tinggi bukan sebaliknya dieksploitasi.
Kampanye politik jangka pendek sesungguhnya mengarah pada politik pragmatis yaitu politik yang berorientasi pada pencapaian kekuasaan semata. Perlu digarisbawahi bahwa kekuasaan dalam konteks politik pragmatis hanya bertujuan dalam dirinya sendiri yaitu demi kepentingan penguasa semata bukan sebagai sarana pelayanan publik. Pemilu 2009 menggunakan jenis kampanye politik jangka pendek ini sehingga melahirkan banyak ketimpangan dalam pemilu sebagaimana dijelaskan di atas dan berorientasi pada politik pragmatis.

 Kampanye Politik Permanen

kampanye politik jenis ini berlaku untuk jangka panjang. Sebagaiamana telah dikatakan di atas yaitu kampanye politik berkaitan dengan pembentukan image politik di kalangan masyarakat luas. Perlu disadari bahwa semua aktivitas yang dilakukan partai politik menjadi pusat perhatian publik dan terekam dalam memori kolektif masyarakat. Karena itu, partai politik perlu memikirkan dan terus-menerus mengevaluasi setiap aktivitas politisnya sebab semua aksi politik itu diamati dan dianalisis oleh publik.Kampanye politik tidak hanya dilakukan hanya menjelang pemilu tetapi harus dilakukan terus-menerus oleh partai politik.
Kampanye politik jangka panjang semakin diperlukan dalam persaingan politik Indonesia mengingat semakin sadar dan kritisnya masyarakat dalam menilai setiap aktivitas politik. Meningkatnya kesadaran politik masyarakat ini sejalan dengan kemajuan tehnologi informasi yang memudahkan masyarakat mengakses setiap informasi politik kemudian memberikan penilaian atasnya. Politik di tengah dunia informasi yang terbuka ini menjadi barang konsumsi publik yang tidak bisa dirahasiakan lagi. Kemajuan dunia informasi berhasil mengeluarkan berita-berita politik dari kaum elitis. hampir semua aktivitas politik kaum elitis dapat dipantau oleh masyarakat luas melalui media informasi. Oleh karena itu, kampanye politik jangka panjang mesti menjadi pilihan partai politik dalam memenangkan persaingan politik. Untuk memahami perbedaan antara kampanye politik jangka pendek dengan kampanye politik jangka panjang ini dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel I. Kampanye Politik Jangka Pendek dan Kampnye Politik Jangka Panjang
Aspek-aspek
Kampanye jangka pendek
Kampanye jangka panjang
Jangka waktu
Periodik dan tertentu
Jangka panjang dan terus-menerus
Tujuan
Menggiring pemilih ke bilik suara
Membentuk image politik
Strategi
Mobilisasi dan berburu pendukung
Membangun dan membentuk reputasi politik
Komunikasi politik
Penekanan pada janji dan harapan politik kalau menang pemilu
Mneciptakan interaksi dengan masyarakat dan mencari pemahaman beserta solusi yang dihadapi masyarakat
Sifat hubungan antara kandidat dan pemilih
Pragmatis / transaksi
Hubungan relasional
Produk politik
Janji dan harapan politik
Pengungkapan masalah dan solusi
Sifat program kerja
Marked-oriented dan berubah-ubah setiap pemilu
Konsisten dengan sistem nilai partai


            
Tabel di atas menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan antara kampanye politik jangka pendek dan kampanye politik jangka panjang. Kampanye politik jangka pendek terjadi pada waktu tertentu saja dan berorientasi pragmatis dengan penekanan pada janji-janji dan harapan politik serta berorientasi pasar. Orientasi pasar (marked-oriented) yang dimaksudkan di sini adalah aktivitas politik yang bersifat transaksional di mana masyarakat atau pemilih digiring ke bilik suara untuk mencapai keuntungan politis para elite politik. Keuntungan itu berupa legitimasi kekuasaan yang dicapai elite politik dalam pemilu. Dalam kampanye politik jangka panjang orientasi politiknya adalah membentuk citra (image) politik yang sehat di tengah masyarakat dengan membangun hubungan relasional, menciptakan interaksi dengan masyarakat dan mencari pemahaman beserta solusi atas persoalan yang dihadapi masyarakat.
Relasi antara kedua jenis kampanye politik di atas tidak saling menegasikan. Keduanya sama-sama dibutuhkan dalam panggung persaingan politik terbuka di era demokrasi seperti di Indonesia. Kekejaman politik dalam kampanye pemilu 2009 lalu, di mana masyarakat dikelabui oleh janji-janji politik yang bombastis dan tidak terakomodasinya banyak suara masyarakat dalam pemilu, terjadi karena seluruh kampanye politik direduksi ke dalam kampanye pemilu (kampanye jangka pendek). Rekam jejak kandidat dan partai peserta pemilu sebelum pemilu tidak diketahui oleh masyarakat tetapi tida-tiba muncul di panggung persaingan politik dalam pemilu 2009. Ketiadaan kampanye politik jangka panjang dari peserta pemilu 2009 menciptakan kebingungan masyarakat untuk menentukan pilihannya saat pemilu. Kampanye pemilu sebenarnya hanya berfungsi untuk menegaskan dan mengingatkan kembali masyarakat akan semua kampanye politik jangka panjang yang pernah dilakukan oleh partai peserta pemilu tersebut.
Kampanye politik sesungguhnya adalah penawaran program kerja partai politik peserta pemilu kepada masyarakat. Program kerja ini dibalut sedemikian rapih dengan menggunakan  bahasa persuasif  sehingga mampu menarik perhatian masyarakat pemilih. Kemasan politik yang menarik ini tujuannya adalah merebut pemilih untuk memenangkan pemilu. Kemasan politik yang menarik bukan hanya ditunjukkan dengan bahasa persuasif melainkan juga strategi politik yang dipakai politisi sungguh memperhatikan situasi masyarakat yang dihadapinya, sehingga program kerja yang ditawarkan partai politik tersebut tidak terkesan ketinggalan zaman (out of date). Praktik politik seperti ini sejalan dengan prinsip marketing pada dunia pasar, sehingga muncul sebutan ‘marketing politik’. Secara gamblang dapat dikatakan bahwa marketing politik adalah penerapan prinsip pasar dalam dunia politik.

 Marketing Politik

Term ‘marketing politik’ merujuk pada dua cabang ilmu yang berbeda, yaitu ilmu marketing dan ilmu politik. Kedua ilmu ini sesungguhnya mempunyai karakteristik yang berbeda satu sama lain. Rasionalitas yang membangun kedua cabang ilmu ini pun berbeda. Ilmu marketing berangkat dari kondisi persaingan (competition) dan digunakan untuk menjelaskan dan menggambarkan bagaimana satu usaha bisa memenangkan persaingan di pasar. Tujuan utama ilmu marketing ini adalah agar produk yang dihasilkan bisa menggungguli produk-produk dari pesaingnya di pasar. Sementara ilmu politik bertujuan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera yang dicapai melalui jalur perebutan kekuasaan. Dan kekuasaan yang diperoleh mesti dilegitimasi oleh masyarakat di mana kekuasaan itu dijalankan.
Persaingan dalam dunia marketing terjadi karena banyak produsen yang menghasilkan barang dan jasa  yang sama, sehingga konsumen mempunyai banyak pilihan terhadap barang dan jasa yang dibutuhkannya. Karena itu setiap produsen berusaha sekuat tenaga dan secara akurat menggunakan berbagai strategi penawaran agar hasil produksinya menjadi pilihan konsumen dalam arti mengungguli produsen pesaingnya.  Demikianlah ilmu marketing  lahir dalam konteks persaingan seperti ini.
Dalam dunia marketing terjadi negosiasi dan tawar-menawar antara produsen dan konsumen untuk menyepakati harga barang atau jasa. Sebab itu dalam dunia marketing sesungguhnya tercipta hubungan transaksional antara prousen dan konsumen. Hubungan transaksional dijaga dan dipelihara oleh produsen agar konsumennya tidak berpindah tetapi semakin loyal terhadap hasil produksi barang dan jasa produsennya. Kenyataan atau kondisi dalam dunia marketing ini paralel dengan dinamika persaingan politik yang intens dalam pemilu 2009 di mana setiap partai politik berusaha sekuat tenaga dengan menggunakan semua modal politiknya untuk meyakinkan pemilih dan memenangkan persaingan politik. Politisi menunjukkan sikap keberpihakannya kepada nasib rakyat selama kampanye pemilu, tetapi sikap ini sesungguhnya hanyalah satu bentuk relasi transaksional untuk menggiring pemilih ke balik bilik suara dan memenangkan persaingan politik.
Salah satu tuntutan mendasar aktivitas politik di negara demokrasi, termasuk Indonesia, adalah transparansi dan menjunjung tinggi kebebasan rakyatt untuk menentukan pilihan politiknya. Tuntutan transparansi kegiatan politik ini menunjukkan adanya kegairahan masyarakat untuk menilai hiruk-pikuk politik yang meliputi strategi, arah dan tujuan politik yang hendak dibangun oleh partai politik. Oleh karena itu, persaingan politik di era demokrasi terbuka mesti dijalankan secara fair agar bisa memenangkan persaingan. Sebab semua kebijakan politik yang diambil, strategi politik yang ditempuh dan arah politik yang dibangun oleh partai politik bisa dinilai dan dievaluasi oleh masyarakat luas. Tindakan koersif dan represif dalam politik tidak berlaku lagi mengingat masyarakat mampu memberikan penilaian atas aktivitas politik para politisi.
Fenomena politik dalam pemilu legislatif tahun 2009 lalu menunjukkan intensitas persaingan yang tinggi karena pemberlakuan Undang-Undang pemilu No. 10 tahun 2008 di mana penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak ini melahirkan eskalasi persaingan politik yang tinggi bukan hanya antara partai politik peserta pemilu melainkan juga antara calon legislatif (caleg) dalam partai politik yang sama. Setiap calon legislatif menciptakan strategi politiknya sendiri untuk meningkatkan daya tawarnya kepada masyarakat. Aneka trik-trik politik diterapkan untuk menarik perhatian masyarakat. Munculnya banyak iklan politik, baik di media massa maupun media elektronik, billboard memenuhi arena-arena umum, spanduk, poster dan baliho yang ditempatkan hampir di semua daerah menjadi indikasi tingginya intensitas persaingan politik dalam pemilu 2009 lalu.
Dalam suhu persaingan politik yang tinggi ini masyarakat diperlakukan sebagai pasar yang mesti diperebutkan untuk memenangkan persaingan. Strategi politik yang dibangun oleh aktor politik untuk menawarkan ide-ide politik, janji politik, harapan politik dan program kerja dalam rangka merebut pangsa pasar inilah yang  disebut marketing politik. Jadi manuver politik dalam pemilu 2009 lalu sesungguhnya menggunakan tehnik marketing politik untuk memenangkan persaingan politik. Jadi penerapan marketing politik dalam pemilu 2009 lalu didesak oleh eskalasi persaingan politik yang tinggi.
Marketing politik sesungguhnya lahir dari kondisi persaingan politik yang terbuka, di mana masyarakat mempunyai pilihan bebas untuk menentukan arah politiknya. Dalam sistem politik yang represif marketing  politik tidak bisa diterapkan karena masyarakat tidak mempunyai pilihan bebas untuk menentukan arah politiknya. Karena itu, marketing politik sebenarnya adalah konsekuensi dari demokrasi terbuka di mana persaingan politik terbuka mendapat tempatnya. 
 Dalam persaingan politik yang terbuka masyarakat dihadapkan dengan banyak pilihan politik. Hal ini menuntut politisi mengemas strategi, arah dan tujuan politiknya secara persuasif  agar mampu menarik perhatian masyarakat. Kemasan adalah salah satu aspek penting dari dunia marketing. Kemasan suatu barang bisa menentukan harga penawarannya. Marketing politik yang dipakai politisi dalam pemilu 2009 lalu juga menggunakan politik kemasan. Politik kemasan inilah yang sangat menonjol dalam persaingan politik pemilu 2009 lalu. Semua program kerja, janji dan harapan politik dikemas sedemikian indah dengan bahasa yang puitis. Bukan hanya ide politik yang dikemas secara indah, melainkan juga penampilan calon legislatif pun dikemas supaya terlihat rapih dan santun.
Politik kemasan ini juga tampil dalam bentuk pendekatan langsung dengan masyarakat berupa janji-janji politik yang ditawarkan kepada masyarakat. Tujuan dari kemasan indah dan terkesan santun ini adalah meningkatkan daya tawarnya pada masyarakat. Atau dengan kata lain, politik kemasan bertujuan agar penawaran politik calon bersangkutan bisa mengungguli para pesaingnya di masyarakat (pasar). Dengan demikian, relasi yang dibangun oleh politisi dengan masyarakat bertujuan agar pemilih atau rakyat tetap setia kepada politisi bersangkutan. Dengan kata lain, relasi antara politisi dan masyarakat dalam bingkai politik kemasan ini bermaksud agar masyarakat memenuhi hasrat kuasa dari politisi. Terkadang politik kemasan ini disandingkan dengan trik-trik antidemokrasi untuk menjaga loyalitas rakyat terhadap politisi seperti menggunakan uang sebagai ikatan politik atau money politics.
Tanggapan Kritis atas Marketing Politik
Hal yang paling ditakutkan dalam implementasi marketing politik adalah komersialisasi dunia politik dan mereduksi arti berpolitik itu sendiri. Meluasnya penggunaan Televisi, media cetak dan radio sebagai media iklan dan publikasi dapat menjauhkan masyarakat dari ikatan ideologi partai bersangkutan. Masyarakat akan terjebak dalam aspek artistik dari sebuah iklan politik ketimbang pesan politik itu sendiri. Isu politik tentu berbeda dengan produk komersial. Isu politik berkitan erat dengan nilai dan ideologi bukan sebuah produk yang diperjualbelikan. Mengadopsi konsep dan pendekatan marketing dalam dunia politik bisa mengubah dunia politik menjadi transaksi ekonomi. Ideologi politik yang digunakan untuk menarik perhatian konstituen diubah menjadi logika laba dan uang. Dalam konteks ini tujuan utama para aktor politik adalah memetik keuntungan finansial dalam berpolitik. Keterlibatan masyarakat kelas bawah dalam kerangka politik seperti ini hanya dapat terwujud jika ada insentif finansial untuk berpartisipasi. Maraknya isu ‘politik uang’ dalam pemilu 2009 lalu bisa dibaca dalam kerangka pemikiran  dampak penerapan marketing politik ini.
 Marketing politik membutuhkan biaya besar untuk mendanai sponsor dan iklan politik. Sebab itu partai politik yang sumber dananya terbatas tentu kalah bersaing dengan partai politik yang sumber dananya besar. Dalam kondisi seperti ini, persaingan politik menjadi medan pertarungan kapital dan demokrasi dibajak oleh kaum kapitalis. Demokrasi merosot maknanya menjadi kompetisi untuk mendulang suara dan merenggut keuntungan finansial yang besar. Para pemenang dalam persaingan politik pun adalah mereka yang bermodal besar atau mereka yang dimodali oleh kaum kapitalis. Nasib rakyat dipertaruhkan demi kepentingan kaum kapitalis dan demokrasi semakin menjauh dari tujuan dasarnya. Dengan demikian, marketing politik berpotensi menimbulkan dominasi suatu partai politik atau kontestan yang memiliki dana besar. Kontestan yang bermodal besar lebih mampu mempengaruhi opini publik dibandingkan dengan kontestan yang sumber dananya terbatas.
Selain itu, tujuan marketing politik adalah untuk mencapai keuntungan berupa legitimasi atas hasrat kuasa kaum politisi. Legitimasi kekuasaan di Indonesia yang adalah negara demokrasi hanya dapat diperoleh dari rakyat melalui pemilihan umum. Sebab itu, sasaran penerapan marketing politik selama kampanye pemilu adalah memobilisasi masyarakat untuk mendukung hasrat kuasa dari politisi. Dalam usaha memobilisasi masyarakat ini, politisi menempuh aneka cara mulai dari acara hiburan dengan mengundang para artis sampai pada pengumbaran janji-janji politik yang dapat meninabobokan daya kritis masyarakat. Ikhtiar politik seperti ini justeru menjauhkan masyarakat dari ideologi partai politik bersangkutan. Masyarakat hanya disuguhi hal-hal yang bersifat artistik dalam kampanye politik berupa pagelaran konser musik, pemajangan iklan-iklan politik yang juga mengedepankan unsur artistik dan janji politik yang melemahkan daya kritis masyarakat. Karena itu, marketing politik sesungguhnya adalah suatu bentuk kejahatan politik karena membodohi masyarakat dari pengetahuan politik yang sesungguhnya. Marketing politik adalah pengkianatan terhadap demokrasi karena memanipulasi rakyat yang merupakan kunci utama prinsip demokrasi.
Apabila politik diterjemahkan ke dalam kerangka pasar maka bukan sesuatu yang mustahil jika tujuan politik juga menjadi sejalan dengan tujuan pasar. Tujuan pasar adalah untuk mencapai tingkat profit yang besar. Apabila politik juga diarahkan untuk mencapai tingkat profit yang besar maka politik itu berubah menjadi machievalistik di mana politik diarahkan untuk mencapai kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan semata-mata. Kekuasaan di sini dilihat sebagai suatu keuntungan pribadi sebab itu bisa digunakan sesuka hati. Politik dalam kerangka pasar menjadi antitesis bonum commune sebab bonum commune membutuhkan pengorbanan diri dalam pelyanan terhadap rakyat (sesama) sedangkan politik dalam kerangka pasar mengorbankan rakyat (sesama) demi keegoan diri.
Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa marketing politik itu sesungguhnya adalah suatu bentuk politik pragmatis, di mana aktivitas politik bertujuan untuk melegitimasi kekuasaan. Legitimasi politik dalam kerangka pasar adalah berupa jumlah perolehan suara dalam pemilu terlepas dari entahkah perolehan suara itu menggambarkan kehendak rakyat ataukah perolehan suara karena manipulasi. Dan kekuasaan ini dilihat sebagai suatu keuntungan (hasil dari suatu proses transaksi politik) bagi politisi sehingga keuntungan ini (kekuasaan) dapat digunakan sesuai dengan kepentingan dirinya. Kekuasaan bukan lagi dilihat sebagai sarana pelayanan kepada masyarakat. Masyarakat mempunyai arti hanya selama masa kampanye pemilu berlangsung.
Pemberlakuan Undang-Undang pemilu No. 10 tahun 2008 tentang penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak melahirkan persaingan politik yang terbuka antara calon legislatif (caleg) baik dari partai yang berbeda maupun dari partai yang sama. Undang-undang ini sesungguhnya menciptakan individualisasi perjuangan politik. Sebab setiap caleg mesti bersaing dengan caleg lainnya dalam satu partai politik yang sama.

 Individualisasi Perjuangan Politik

Kompleksitas persaingan politik dalam pemilu 2009 yang diwadahi oleh UU No. 10 tahun 2008 tentang pemilu di mana penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak menciptakan pemisahan yang tegas antara partai politik dan aktor politiknya. Pemisahan  ini berdampak pada ideologi partai politik menjadi hambar karena masing-masing caleg menggunakan trik politiknya sendiri-sendiri untuk memenangkan persaingan politik. Terdapat aneka bentuk trik politik yang dibangun oleh para aktor politik dalam pemilu 2009 yang lalu, antara lain menggunakan popularitas pribadi sebagai trik politik. Munculnya caleg artis dalam pemilu 2009 yang lalu menjadi indikasi bagaimana popularitas itu digunakan secara politis untuk memenangkan pemilu sekaligus menegaskan individualisasi perjuangan politik. Salah satu contoh partai yang banyak menggunakan artis sebagai calon legislatif adalah Partai Amanat Nasional (PAN). Dari 672 caleg dari PAN sekitar 5 % diantaranya adalah artis-artis nasional.
Individualisasi perjuangan politik didukung oleh partai politik yang ditandai dengan pola penjaringan caleg partai dengan menggunakan media massa. Hal ini menunjukkan partai politik tidak mampu menghasilkan kader politiknya sendiri. Konsekuensi dari perekrutan caleg seperti ini adalah internalisasi ideologi partai oleh caleg yang diusung partai bersangkutan menjadi lemah. Bahkan lebih ekstrim dapat dikatakan tidak ada ikatan idelogis di antara caleg. Setiap caleg diberi kesempatan untuk memenangkan persaingan dengan mengandalkan popularitas pribadinya di masyarakat.
Tanggapan Kritis atas Individualisasi Perjuangan Politik
Indonesia adalah negara demokrasi yang sistem politiknya dalam peralihan kekuasaan (pemilu) menggunakan sistem partai. Dalam ketentuan Umum Undang-Undang No. 12 tahun 2003 tentang pemilu menegaskan peserta pemilu adalah partai politik kecuali calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah calon perseorangan. Itu berarti dalam sistem politik Indonesia peran partai politik sangat sentral dalam pelaksanaan kekuasaan politis. Partai politik bertanggung jawab atas pelaksanaan kekuasaan yang dijalankan oleh kader politiknya yang duduk di kursi legislatif atau eksekutif. Partai politik harus meminta pertanggungjawaban kader politiknya dalam setiap keputusan publik yang diambil oleh kadernya. Tujuan pertanggungjawban ini adalah agar kebijakan publik yang diambil itu sesuai dengan ideologi partai dan berpihak pada kesejahteraan masyarakat seluruhnya serta menjunjung tinggi nilai keadilan.
Individualisasi perjuangan politik sebagaimana yang terjadi dalam pemilu 2009 lalu tentu melemahkan fungsi partai politik. Individualisasi perjuangan politik sebagai ekspresi dari gagalnya partai politik untuk menghasilkan kader politiknya yang berkompeten bukan tidak mungkin akan mengubah figur politik menjadi sistem partai. Artinya, karakter calon yang mempunyai popularitas tinggi akan berubah menjadi sistem partai dan budaya organisasi. Sistem partai melemah dihadapan figur politik. Partai politik bukan lagi merupakan mesin yang menghasilkan calon-calon pemimpin melainkan sarana yang mengabdi pada figur politik.
Kelemahan dasar dari sistem seperti ini adalah figur yang tampil ke publik adalah figur yang berkarakter otoriter. Figur yang tidak tahan terhadap kritik. Sebab dalam partai politik, karakter pribadinya berubah menjadi sistem partai dan pola organisasi sehingga hampir pasti tidak ada kritik terhadapnya. Selain itu, sistem ini juga berdampak pada peran partai politik melemah dalam meminta pertanggungjawaban kadernya dalam setiap kali kebijakan publik yang diambil. Hal ini memberi kesempatan bagi terciptanya pemimpin yang totaliter.
Individualisasi perjuangan politik juga merupakan suatu proses pembodohan terhadap masyarakat. Partai politik gagal memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Individualisasi perjuangan politik tentu menjauhkan masyarakat dari pemahaman politik Indonesia yang menggunakan sistem partai politik. Melalui individualisasi perjuangan politik,  masyarakat justeru dimanipulasi demi tujuan kekuasaan elite politik. Masyarakat  dibiarkan terkapar dalam kebodohan di pinggir persaingan merebut kekuasaan kaum elit sambil menunggu digiring ke balik bilik suara. Jadi, individualisasi perjuangan politik sesungguhnya adalah pintu bagi masuk dan berkembangnya karakter pemimpin yang totaliter, pembodohan teradap masyarakat dan pengkianatan terhadap demokrasi.
Dalam bingkai individualisasi perjuangan politik ini, demokrasi dibajak maknanya menjadi kompetisi untuk mendulang suara yang di dalamnya popularitas menjadi kunci utama. Popularitas ini jarang dibangun dari keringat kerja politik, melainkan melalui iklan politik belaka. Kolektivitas politik demokrasi dirobek oleh individualisasi perjuangan politik sebagaimana tampak dalam pemilu 2009 yang lalu. Ketika kolektivitas politik dirobek oleh individualisasi perjuangan politik maka demokrasi yang tersisa hanyalah demokrasi prosedural. Demokrasi prosedural mengandung dua ancaman yang sama latennya, pertama, demokrasi dibajak oleh mereka yang sejatinya anti demokrasi. Kelompok sektarian dapat mengambil hati konstituen secara demokratis tetapi setelah kekuasaan demokratis itu diperoleh konstituennya dipinggirkan dari arena kekuasaannya. Kedua, demokrasi dibelenggu oleh orang-orang yang berpunya di mana relasi politik berubah menjadi transaksi ekonomi.
Pemilu Indonesia sebagai negara demokrasi mesti mengedepankan kolektivitas perjuangan politik dalam bentuk partai politik. Dinamika politik di Indonesia mesti mengefektifkan fungsi partai agar pemilu Indonesia tidak terjebak dalam demokrasi prosedural. Persaingan politik yang mengedepankan sistem partai politik dari pada figur politik dan bukan sebaliknya. Oleh karena itu, perlu ada pembenahan dalam tata cara berorganisasi dalam tubuh partai politik di Indonesia agar partai politik bisa menjalankan perannya sesuai dengan harapan masyarakat. Individualisasi perjuangan politik mengartikulasikan lemahnya pengelolaan partai politik di Indonesia, terutama partai politik peserta pemilu 2009 lalu. Bagaimana mengelolah organisasi partai politik akan dibahas pada bagian berikut ini.

Mengelolah Partai Politik

Perubahan mendasar dalam sistem perpolitikan di Indonesia terjadi pada masa reformasi. Reformasi perpolitikan Indonesia yang terjadi tahun 1997-1998 telah membuka sejarah baru dalam dinamika bagaimana kekuasaan politis diperebutkan secara demokratis dengan menempatkan partai politik sebagai sarana perebutan kekuasaan yang demokratis. Reformasi politik dilakukan dalam rangka memelihara negara kesatuan republik ini yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Dalam rangka perebutan kekuasaan politis secara demokratis ini, setiap orang diberi kebebasan yang sama untuk berkumpul dan berpendapat serta membentuk organisasi politik atau partai politik yang dijamin oleh Undang-Undang Negara sebagai sarana perebutan kekuasaan.
 Reformasi membangkitkan kembali ruang multipartai dalam sistem perpolitikan Indonesia setelah terbebaskan dari belenggu rezim Orde Baru yang hanya mengesahkan dua partai politik yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI)  dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ditambah satu golongan yaitu Golongan Karya. Di masa reformasi, kehidupan partai politik ditata kembali. Salah satu aspek penataan politik pascareformasi adalah  upaya merevisi tatanan kepartian sebagaimana ditujukkan melalui Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang partai politik. Undang-undang ini memberikan definisi dan penjelasan yang memadai tentang syarat  berdirinya sebuah partai politik dan hak dan tanggung jawab partai politik serta kiprah partai politik dalam memperebutkan kekuasaan politik. Lahirnya undang-undang ini memperlihatkan desakan masyarakat terhadap efektivitas fungsi partai politik sekaligus mengungkapkan keinginan para politikus sendiri untuk membangun relevansi fungsi partai politik dengan perkembangan masyarakat.
Kehadiran Undang-Undang No. 2 tahun 2008 tentang partai politik ini ternyata belum mampu mengefektifkan fungi partai politik dalam pemilu tahun 2009 lalu. Hal ini tampak dalam individualisasi perjuangan politik, marketing politik tanpa pijakan ideologi partai tetapi marketing politik yang bertujuan memperoleh kekuasaan semata-mata, menjadikan popularitas pribadi sebagai senjata politik-popularitas di sini bukan popularitas dalam bidang politik melainkan popularitas dalam bidang lain seperti dalam dunia keartisan kemudian popularitas itu dipakai untuk menarik massa politik. Selain itu, lemahnya fungsi partai politik dalam pemilu 2009 lalu tampak dalam proses penjaringan caleg beberapa partai politik yang dilakukan dengan cara memasang iklan di media sosial baik media cetak maupun elektronik. Hal ini menunjukkan lemahnya fungsi partai politik dalam mendidikan kader politiknya untuk menjadi pemimpin. Kinerja partai politik ini menuai ketidakpercayaan masyarakat terhadap kiprah partai politik dalam pemilu 2009 lalu.
Beberapa survei dan penelitian akademis yang dilakukan oleh beberapa institusi menunjukkan terdapat kecenderungan skeptisme masyarakat Indonesia terhadap peran dan kontribusi partai politik.Ironisnya, pertambahan jumlah partai politik tidak berkorelasi positif terhadap apresiasi dan kepercayaan masyarakat terhadap partai politik. Defisit kepercayaan masyarakat terhadap partai politik tentu merupakan suatu bencana bagi demokrasi di Indonesia. Sebab, demokrasi seyogianya dikembangkan atas dasar saling percaya antara satu dengan yang lainnya.
Apabila rakyat tidak percaya terhadap partai politik atau pemerintahnya maka yang terjadi adalah semua kebijakan yang diambil, program kerja partai politik atau pemerintah selalu dicurigai sebagai tindakan manipulatif atau pembohongan terhadap masyarakat.  Fenomena banyaknya pemilih yang ‘golput’ yaitu tidak menggunakan hak politiknya dalam pemilu 2009 lalu ( sebanyak 49. 677. 075 suara. Bandingkan dengan perolehan suara partai Demokrat sebagai partai pemenang pemilu hanya mencapai suara 21. 703. 137) merupakan salah satu indikasi ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik peserta pemilu.
Lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja partai politik lebih disebabkan oleh lemahnya pengelolahan struktur dalam tubuh partai politik itu sendiri. Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada kinerja dan fungsi partai politik sebagai sarana perebutan kekuasaan politis secara demokratis, maka partai politik harus dikelolah secara benar dengan memperhatikan elemen-elemen pokok berikut ini:

 Ideologi Partai Politik

Dalam ketentuan umum undang-undang no. 2 tahun 2008 tentang partai politik menegaskan partai politik sebagai organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Cita-cita dan kehendak basis yang menggugah sekelompok anggota masyarakat untuk mendirikan sebuah partai politik. Cita-cita dan kehendak yang merupakan basis ini dikemas menjadi ideologi partai politik tersebut. Ideologi ini menjadi dasar berdirinya partai politik sekaligus sebagai identitas atau karakteristik partai politik bersangkutan.
Ideologi politik merupakan basis sistem nilai dan faham yang menjelaskan mengapa suatu partai politik harus ada.  Selain itu, ideologi partai politik juga merupakan basis perjuangan atau cita-cita yang ingin dicapai suatu partai politik. Ideologi politik digunakan oleh organisasi politik untuk memposisikan dirinya dalam peta persaingan politik. Dengan demikian, ideologi seharusnya melekat pada kehadiran suatu partai politik. Agar dapat dikatakan sebagai penganut ideologi tertentu, suatu sistem nilai, kepercayaan, dan norma tertentu maka ideologi partai politik itu harus tercermin dalam semua aspek organisasi partai politik bersangkutan. Ideologi politik  memberikan karakter tersendiri sebuah partai politik sehingga membedakan partai politik tersebut dari partai politik lainnya. Setiap partai politik pasti memliki perbedaan yang disebabkan oleh perbedaan ideologi yang menjadi dasar dibentuknya partai politik tersebut. Kemiripan dengan partai lain mungkin saja terjadi, tetapi tidak akan mungkin sama persis. Setiap partai politik pasti memiliki karakter tersendiri yang membedakannya dengan dengan partai politik yang lain. Betapapun kecilnya, perbedaan antara partai politik itu pasti ada.
Dalam peta persaingan politik yang multipartai seperti yang terjadi pada persaingan politik dalam pemilu 2009 lalu, ideologi sebagai identitas partai politik membantu pemilih untuk membedakan partai yang satu dari partai lainnya sehingga pemilih dapat menentukan pilihannya setelah mengetahui perbedaan antara partai politik. Pemillih tentu akan menjadi bingung menentukan keberpihakannya pada salah satu partai politik apabila partai politik yang terlibat dalam persaingan politik tidak memiliki perbedaan atau perbedaannya tidak jelas.
 Ideologi sebuah partai politik diterjemahkan dalam program kerja partai tersebut. Sebab itu, setiap partai politik memiliki program kerja yang berbeda antara satu partai politik dengan yang lainnya. Perbedaan program kerja partai ini memudahkan masyarakat untuk menentukan pilihannya, program kerja mana yang sesuai dengan keadaan hidup masyarakat tu sendiri. Bila kita menelisik persaingan politik pemilu tahun 2009 lalu, ideologi partai politik ini tidak tampak dalam peta persaingan politik. Kebanyakan Partai politik peserta pemilu 2009 berorientasi pragmatis.
 Individualisasi perjuangan politik serta aneka program kerja yang bombastis sekadar berburu pendukung untuk memenangkan persaingan politik juga merupakan indikasi lemahnya ideologi dalam persaingan politik. Aneka pelanggaran yang terjadi selama proses pemilu 2009 seperti ‘politik uang’ atau penggelembungan suara yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memenangkan calon atau partai tertentu juga merupakan indikasi melemahnya ideologi politik untuk menarik perhatian massa politik.
Ketidakjelasan ideologi politik dalam pemilu 2009 dapat ditemukan dalam contoh basis perjuangan kedua partai besar berikut ini: Partai Demokrat merumuskan platform partainya sebagai partai yang menjunjung tinggi nasionalisme, humanisme, internasionalisme atas dasar ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam tatanan dunia baru yang damai, demokratis dan sejahtera. Juga partai ini memperjuangkan persamaan hak dan kewajiban warga negara tanpa membedakan ras, agama, suku dan golongan dalam menciptakan masyarakat sipil yang kuat dan otonom.
Di sisi lain, partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) merumuskan dasar platform-nya sebagai partai yang berpijak pada jati diri bangsa, pro rakyat dan terbuka terhadap perubahan dunia yang dinamis (pluralis) serta menciptakan masyarakat yang kuat dan otonom. Bila diperhatikan secara teliti basis platform kedua partai ini sesungguhnya tidak ada jarak atau perbedaan antara keduanya. Ironisnya bahwa  kedua partai ini adalah partai besar yang pernah memenangkan pemilu (PDIP pada pemilu tahun 1999 dan partai Demokrat pada pemilu  tahun 2009) tetapi tidak memiliki perbedaan basis platform atau ideologinya. Rumusan ideologi keduanya terlampau abstrak, bersifat umum dan terkesan formalitas serta tidak memiliki kharakteristik. Dan hampir semua partai politik di Indonesia terjebak dalam formulasi ideologi yang terlampau abstrak, umum dan terkesan formalitas tanpa kharakteristik masing-masing.
Kembali kepada fenomena kemenangan PDIP (1999) dan partai Demokrat (pemilu 2009), bagaimana mungkin kedua partai ini bisa memenangkan persaingan politik tanpa identitas ideologi yang jelas? Daniel Dhakidae dalam tulisannya berjudul “Partai Politik di Persimpangan Jalan” menuturkan bahwa kemenangan PDIP dalam pemilu tahun 1999 tidak terlepas dari adanya votes of compassion bagi penderitaan yang dialami partai tersebut termasuk ketua umumnya Megawati Soekarno Putri selama Orde Baru. Kemenangan PDIP bukan karena ideologi partai itu yang diterjemahkan dalam program kerjanya menyentuh masalah sosial yang dihadapi masyarakat, melainkan karena keterharuan masyarakat atas keadaan represif partai dan ketua umum partai tersebut di bawah rezim Soeharto. Selanjutnya kemenangan Partai Demokrat sebagai partai incumbent dalam pemilu 2009 lalu tidak terlepas dari romantisme klaim keberhasilan pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono. Klaim keberhasilan yang tidak sesuai dengan kenyataan ini ternyata bisa menarik hati massa politik yang membawa partai demokrat keluar sebagai pemenang dalam pemilu 2009. Jadi kemenangan kedua partai politik ini bukan karena ideologi partai atau program kerjanya yang menyentuh masyarakat..
Selain itu, lemahnya ideologi partai politik tampak sangat jelas dalam koalisi partai politik dalam mengusung calon presiden dan wakil presiden dalam pemilu presiden 2009. Koalisi partai politik bukan karena kesamaan ideologi melainkan koalisi berdasarkan sharing Power (pembagian kekuasaan). Koalisi berdasarkan sharing power ini menunjukkan tidak ada garis batas ideologis antara partai politik di Indonesia.  Partai politik berorientasi pada pencapaian kekuasaan semata. Dan pencapaian kekuasaan ini selalu menempuh jalan pintas di mana partai politik rela meninggalkan ideologi yang merupakan identitas partai bersangkutan dan bergabung dengan partai politik lain yang dianggap kuat. Koalisi partai politik untuk memenuhi kuota pencalonan seorang kandidat atau calon presiden menjadi indikasi ketiadaan ideologi dalam tubuh partai politik di Indonesia.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa partai politik peserta pemilu 2009 adalah partai politik tanpa identitas kepartian yaitu ideologi partai. Perseteruan politik dalam pemilu 2009 berorientasi pragmatis yaitu mencapai kekuasaan politis semata. Kekuasaan dalam kerangka politik pragmatis selalu bertujuan untuk mencapai keuntungan diri yang sebesar-besarnya tidak peduli entahkah orang lain menjadi korban.  Partai politik tanpa ideologi tentu merupakan suatu ancaman bagi demokrai Indonesia. Karena itu, untuk menyelamatkan demokrasi dunia politik di Indonesia maka ideologi partai politik mesti dipertajam agar masyarakat bisa mengidentifikasi ideologi partai tersebut dan menilai serta mengevaluasi kinerja dan kekonsistenan partai serta fungsi partai politik dalam mengambil bagian dalam hidup masyarakat.
Ideologi politik juga membantu partai politik untuk mengambil posisi yang strategis dalam memcahkan persoalan yang dihadapi masyarakat seturut ideologi partai tersebut yang lazim disebut positioning politik. Setiap partai politik mesti mempunyai positioning politik yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, sebab positioning politik dibangun atas dasar ideologi partai. Pada bagian berikut ini, penulis menjelaskan positioning politik secara rinci.

Positioning Politik

Term positioning merupakan term yang diambil dari dunia pasar (market) atau bisnis. Positioning dalam marketing didefinisikan sebagai semua aktivitas untuk menanamkan kesan di benak konsumen agar mereka bisa membedakan produk dan jasa yang dihasilkan oleh suatu organisasi atau perusahan. Dalam positioning atribut produk dan jasa yang dihasilkan akan direkam dalam bentuk image yang terdapat dalam sistem kognitif konsumen. Dengan demikian, konsemen akan dengan mudah mengidentifikasi, sekaligus membedakan produk dan jasa yang dihasilkan oleh suatu perusahan dengan produk dan jasa yang dihasilkan oleh perusahan lainnya. Semakin tinggi image yang direkam dalam benak konsumen, semakin mudah pula bagi mereka untuk mengingat image produk dan jasa bersangkutan. Menanamkan dan menempatkan image dalam benak masyarakat  tidak hanya terbatas pada produk dan jasa, karena organisasi perusahan secara keseluruhan juga perlu ditanamkan dalam benak konsumen. Hal-hal seperti kredibilitas dan reputasi dapat digunakan sebagai media untuk melakukan positioning.
Ketika konsep ini diadopsi dalam dunia politik,-dalam iklim persaingan-partai politik harus dapat menempatkan produk politik dan image politik dalam benak masyarakat. Untuk dapat tertanam dalam benak masyarakat, maka produk dan image politik harus memiliki sesuatu yang berbeda dibandingkan dengan produk-produk politik lainnya. Keseragaman produk politik dan image politik menyulitkan masyarakat dalam mengidentifikasi suatu partai politik. Hal ini membuat konsumen merasa indiference antara satu produk politik suatu partai dengan partai politik lainnya. Memilih satu partai politik tidak akan menghasilkan sesuatu yang berbeda bila dibandingkan dengan ketika memilih partai lainnya. Sesuatu yang beda (diferensiasi) perlu ditegaskan dalam positioning politik, untuk memudahkan masyarakat dalam membedakan produk suatu partai politik dari produk partai politik lainnya. Aktivitas politik sebenarnya adalah aktivitas untuk memposisikan dan mereposisikan sebuah produk politik supaya karakteristik produk politik bisa ditangkap oleh masyarakat.
Strategi positioning politik merupakan hal penting yang harus dilakukan organisasi politik karena beberapa hal berikut pertama, strategi positioning politik akan membantu pemilih dalam menentukan siapa yang akan dipilih. Kejelasan positioning politik akan membantu pemilih dalam mengidentifikasikan suatu partai politik serta membedakannya dengan organisasi politik lainnya. Kedua, positioning politik yang jelas juga akan membantu anggota partai politik itu sendiri dalam membentuk identitas mereka. Dengan demikian kebijakan dan arah partai menjadi jelas sehingga membantu anggota menemukan karakteristik partainya. Ketiga, positioning politik yang jelas akan membantu penyusunan strategi dalam pendekatan (approach) partai politik ke masyarakat. Keempat, positioning politik yang jelas juga akan membantu dalam mengarahkan jenis sumber daya politik apa yang dibutuhkan.
Partai politik dalam melakukan positioning politik harus berpijak pada ideologi partai bersangkutan. Ideologi partai politik merupakan acuan dasar bagi strategi positioning yang akan diterapkan. Dalam prakteknya ideologi ini kemudian digabungkan dengan informasi yang didapat dari masyarakat luas untuk mendapatkan strategi yang sesuai dengan keadaan masyarakat sehingga penawaran program kerja partai politik bersangkutan dapat menjawabi persoalan yang dihadapi masyarakat. Ada beberapa hal krusial yang perlu diperhatikan partai politik dalam melakukan positioning politik adalah sebagai berikut:


Segmentasi Politik

Kata segmentasi yang dalam bahasa Inggris disebut segmentation berasal dari kata bahasa latin secare yang berarti mengiris, memotong, membelah dan memilah satu bagian dari bagian lainnya. Dalam dunia politik, term segmentasi dipahami sebagai pola pendekatan  politik kepada masyarakat yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat bersangkutan. Setiap masyarakat diperlakukan sesuai dengan keadaan yang mereka alami, entah latar belakang pendidikan, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Segmentasi politik adalah pola pendekatan politik yang memilah-milah masyarakat sesuai dengan keadaan yang mereka alami. Tujuan dari segmentasi politik ini adalah agar komunikasi politik yang dibangun oleh partai politik sesuai dengan kerangka berpikir masyarakat yang dihadapi sehingga memungkinkan terjadinya dialog politik antara masyarakat dan partai politik. Segmentasi politik ini sangat penting bagi partai politik agar formulasi program kerja yang ditawarkan kepada masyarakat sesuai dengan pola pikir masyarakat. Segmentasi politik bisa berjalan dengan baik mengandaikan partai politik selalu membuat analisis terehadap kehidupan masyarakat.  

 Analisis Kehidupan Masyarakat

Dalam positioning politik, masyarakat adalah subjek dan bukan objek. Dari  masyarakat semuanya dimulai. Kondisi dan situasi yang dialami masyarakat perlu dianalisis secara permanen dan terus-menerus. Konsekuensinya, strategi positioning politik juga perlu disesuaikan dengan setiap perkembangan yang terdapat dalam masyarakat. Strategi positioning yang bagus harus sesuai dengan situasi dan perkembangan masyarakat bersangkutan.  Untuk dapat diterima dengan  mudah oleh masyarakat, sebaiknya menyimak semua kondisi yang terjadi dalam masyarakat. Tidak tertutup kemungkinan bahwa suatu strategi positioning harus mengalami penyesuaian akibat perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Misalnya kalau kesadaran masyarakat akan lingkungan hidup semakin tinggi, isu politik pun harus digeser kepada kepedulian dan permasalahan  yang terkait dengan lingkungan hidup. Kalau beban hidup masyarakat semakin berat akibat proporsi biaya hidup melebihi pendapatan rata-rata, isu tentang peningkatan kesejahteraan dapat dikedepankan. Tujuan dari analisis ini adalah agar masyarakat lebih mudah memahami dan mencerna strategi positioning politik yang dilakukan oleh suatu partai. Agar analisis kehidupan masyarakat  bisa berjalan dengan baik maka partai politik perlu meningkatkan peran dan fungsi divisi litbang (divisi penelitian dan pengembangan) partai politik bersangkutan.

Peran Litbang Partai Politik

Divisi penelitian dan pengembangan (litbang) merupakan bagian sentral dari organisasi partai politik. Tujuan utama dari divisi litbang ini tampak dalam pekerjaan utama divisi ini yaitu secara sistemik dan terorganisir memonitor dan mengevaluasi setiap permasalahan yang terjadi di masyarakat. Hasil pantauan dan evaluasi divisi litbang ini menjadi input yang sangat penting bagi organisasi partai politik dalam mengambil kebijakan publiknya. Jadi, divisi litbang dalam sebuah organisasi partai politik sesungguhnya adalah jantung informasi politik yang menjadi dasar pijakan bagi partai politik dalam mengambil kebijakan publiknya.
 Peran litbang partai politik sangat penting dalam suhu persaingan politik yang tinggi dan kompleks. Persaingan politik yang tinggi dan kompleks menuntut  setiap partai politik untuk merubah diri sesuai dengan tuntutan masyarakat. Tujuan utama partai politik adalah mencapai kekuasaan atau mengambil bagian dalam pelaksanaan kekuasaan dan mengendalikan pemerintahan. Tujuan utama partai politik ini hanya mungkin dicapai mengandaikan rakyat merestui perjuangan partai politik. Karena itu, kehendak rakyat mesti ditempatkan pada posisi yang paling tinggi dalam organisasi partai politik. Dinamika perubahan masyarakat yang cepat menuntut setiap partai politik untuk berbenah diri agar sesuai dengan tuntutan masyarakat. Di sinilah peran litbang partai politik yaitu untuk membaca dan menganalisis dinamika perubahan dalam masyarakat agar program kerja partai politik sesuai dengan keadaan masyarakat yang dihapinya.

Penilaian Terahap Pemilu 2009

Dalam terang kerangka pemikiran positioning politik sebagaimana dijelaskan di atas, penulis mengkritisi dinamika partai politik dalam persaingan politik pemilu 2009 lalu. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas yaitu partai politik dalam melakukan positioning politik harus berpijak pada ideologi partai bersangkutan. Ideologi politik merupakan acuan dasar bagi strategi positioning yang akan diterapkan oleh partai politik. Absennya ideologi dalam tubuh partai politik di Indonesia (termasuk dalam partai politik peserta pemilu 2009 lalu) berdampak pada positioning partai politik dalam persingan politik tidak jelas.
Ketiadaan basis ideologi menciptakan ketidak-konsistenan partai politik dalam menawarkan program kerjanya. Sebagai contoh, beberapa partai politik dalam pemilu 2009 mengedepankan program ekonomi kerakyatan dengan mengoptimalkan usaha kecil. Tujuan dari program ini adalah untuk menata kembali perekonomian Indonesia yang bergantung terlampau tinggi pada ekonomi skala besar yang diperankan oleh para konglomerat, dan perusahan besar multinasional. Program ekonomi kerakyatan sebagai antitesis dari ekonomi konglomerasi. Tetapi beberapa pemimpin partai politik seperti Megawati dan Prabowo dalam lawatannya ke Singapura, di hadapan para pengusaha justeru menegaskan bahwa mereka mendukung ekonomi pasar tanpa  kontrol modal. Selain itu, janji kampanye politik yang bombastis dan tidak disertai kemampuan untuk memenuhinya juga bisa dibaca dalam kerangka berpikir  ketidak-konsistenan partai politik yang merupakan efek dari ketiadaan basis ideologinya.
Ketidakjelasan positioning politik ini berdampak pada peta persaingan politik yang tidak terarah. Hampir semua partai politik berkarakter sama dalam menghadapi masyarakat untuk menggalang suara. Masyarakat menjadi bingung untuk menentukan pilihan politiknya karena hampir semua partai politik ketiadaan karakteristik. Hal ini menimbulkan sikap indiferen pemilih terhadap partai politik peserta pemilu. Meningkatnya sikap apatis masyarakat yang diindikasikan dengan kemenangan kelompok “golput” dalam pemilu 2009 juga merupakan ekspresi dari kegagalan partai politik dalam melakukan positioning politik.
Persaingan politik dalam pemilu sesungguhnya adalah salah satu indikator kemajuan demokrasi suatu negara. Ketidakjelasan positioning politik yang dilakukan oleh banyak partai politik dalam pemilu 2009 lalu menuai kegagalan demokrasi dalam dunia politik Indonesia yang ditandai dengan banyaknya pelanggaran pemilu dan banyaknya masyarakat yang tidak berpartisipasi dalam pemilu. Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadp hasil pemilu 2009 tentu merupakan suatu bencana demokrasi di Indoensia. Sebab substansi dari demokrasi sesungguhnya adalah adanya kepercayaan rakyat terhadap pemimpinnya atau kepercayaan pemerintah terhadap rakyatnya. Kegagalan pemilu 2009 berdampak pada rendahnya kepercayaan masyarakat global terhadap demokrasi Indonesia. Indonesia tergolong dalam kategori flawed demokrazy (cacat demokrasi) yang ditandai antara lain oleh pemilu yang tidak bersih dan pengingkaran janji-janji pemilu.
Manfaat persaingan antara partai politik bagi perkembangan demokrasi sesungguhnya berpengaruh langsung terhadap kualitas pembentukan lembaga-lembaga politik. Persaingan antara partai politik dapat mencegah partai politik mengeksploitasi berbagai sumber daya negara secara beramai-ramai. Persaingan antara partai politik mengurangi secara drastis kesempatan partai politik untuk berkolusi dan melakukan perburuan aset dengan jalan mengeruk negara secara beramai-ramai. Logikanya, persaingan yang keras dan sehat dapat memunculkan oposisi yang kredibel. Oposisi ini pada gilirannya bisa menjalankan fungsi pengawasan, di mana partai-partai yang berkuasa diawasi demi mencegah mereka melakukan aktivitas yang melanggar hukum.
Abesennya ideologi politik dalam persaingan politik yang berdampak pada ketidakjelasan positioning politik bukannya meningkatkan kualitas demokrasi melainkan mereduksi demokrasi kepada eksploitasi masyarakat. Masyarakat diperdayakan sebagai aset demokrasi yang berguna hanya sebatas alat untuk  melegitimasi kekuasaan politis. Dalam kerangka berpikir seperti ini, rakyat bukannya sebagai subjek demokrasi melainkan sebagai objek demokrasi yang siap digiring atau dieksploitasi untuk memenuhi hasrat kuasa politisi.
Demokrasi sesungguhnya memberi penghargaan yang setinggi-tingginya kepada rakyat. Rakyat menjadi kunci dalam sebuah demokrasi. Pemerintahan dijalankan oleh rakyat dan bersumber dari rakyat serta tujuannya adalah untuk kebaikan rakyat itu sendiri merupakan inti dari demokrasi. Apabila pemilu justeru menghasilkan penipuan dan pembohongan terhadap masyarakat tentu ini merupakan suatu bencana demokrasi yang sangat akut sebab demokrasi kehilangan esensinya. Demokrasi tanpa penghargaan terhadap rakyat yang merupakan esensi demokrasi itu sendiri maka demokrasi itu terjebak dalam demokrasi prosedural yaitu demokrasi berupa prosedur pengabsahan kekuasaan belaka. Demokrasi prosedural mengandung dua ancaman berbahaya yaitu demokrasi dikibuli oleh mereka yang anti demokrasi dan demokrasi dibajak oleh orang-orang yang berpunya. Bila hal ini yang terjadi maka demokrasi bukannya sebagai jembatan  atau metode politik untuk mengartikulasikan kepentingan politik rakyat seluruhnya melainkan sebagai sarana penjajahan terhadap rakyat.
Dari seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa positioning politik merupakan bagian integral dari sebuah demokrasi dunia politik. Positioning politik bisa berjalan mengandaikan sebuah ideologi politik yang jelas, sebab positioning politik dibangun di atas ideologi politik. Positioning tanpa ideologi hanya menghasilkan politik pragmatis di mana rakyat dipertaruhkan demi hasrat kuasa kaum elite politik. Politik pragmatis memplesetkan tujuan politik untuk mencapai bonum commune dan mengkonversinya menjadi arena eksploitatif terhadap masyarakat. Politik pragmatis sesungguhnya sarat dengan politik kepentingan kaum elit. Politik kepentingan sesungguhnya menyuburkan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Menjamurnya praktek KKN di Indoneia bermula dari sistem demokrasi politiknya yang tidak jelas. Pengelolahan partai politik justeru mendukung perkembangan praktek KKN di Indonesia.
Kecendrungan pragmatis partai politik di Indonesia menjadi gejala umum di mana cengkeraman ideologis partai politik tidak jelas. Hal ini berarti praktek KKN di Indonesia akan tetap bertumbuh subur. Sebab para pemimpin atau wakil rakyat di negeri ini lahir dari sebuah sistem politik yang sarat dengan egoisme dan penuh manipulasi yaitu politik pragmatis. Kasus korupsi seakan membudaya di negeri ini sebab para koruptor kebanyakan anak kandung dari sistem politik yang sarat dengan manipulasi atau jebolan pemilu yang penuh dengan kebohongan. Karena itu, pemberantasan praktek KKN harus bermula dari pembenahan kehidupan politik di negeri ini.
Ideologi merupakan fondasi sebuah partai politik. Ketiadaan fondasi menjadikan sebuah partai politik berjalan tanpa arah yang jelas. Ketiadaan fondasi juga mengakibatkan sebuah partai politik tidak memiliki segmentasi politik yang jelas. Sebab segmentasi politik mengandaikan adanya keberpihakan partai politik terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat. Dan keberpihakan itu merupakan aksentuasi ideologi partai tersebut. Dengan demikian, partai politik tanpa sebuah ideologi yang jelas berdampak pada segmentasi politik yang  tidak jelas pula.
Ketiadaan fondasi politik mengacaukan seluruh sistem dalam tubuh partai politik. Dan bahkan divisi yang dianggap jantung sebuah organisasi partai politik bisa lumpuh tak berdaya, seperti divisi litbang politik. Firmanzah, seorang pengamat politik Indonesia, menegaskan bahwa divisi litbang dalam tubuh partai politik di Indonesia sering digunakan sebagai pelengkap dan asesoris belaka. Sedangkan distribusi informasi politik hanya mengandalkan pemimpin partai. Dampak dari pola kerja partai politik seperti ini adalah banyak program partai yang tidak dipahami oleh masyarakat dan relasi antara masyarakat dengan partai politik semakin menjauh. Sebab program kerja yang ditawarkan partai politik menggunakan pendekatan dari atas tanpa suatu penelitian dan analisis kebutuhan masyarakat. Tidak terlampau mengagetkan bila dalam pemilu 2009 lalu banyak masyarakat yang tidak menggunakan hak politiknya dalam pemilu. Sebab banyak partai dan program kerja partai anonim bagi masyarakat pemilih. Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan bahwa absennya fondasi politik berupa ideologi partai politik menuai ketidakjelasan kerja partai politik dan bermuara pada krisis kepercayaan masyarakat terhadap partai politik. Krisis kepercayaan inilah yang menciptakan kegagalan demokrasi politik di Indonesia.


 Kaburnya Ideologi Politik

Mengapa partai politik di Indonesia ketiadaan ideologi? Pertanyaan ini merupakan pertanyaan dasariah dan jawaban atas pertanyaan ini tentu tidak bisa ditempatkan pada salah satu alasan tunggal. Maksudnya kekaburan ideologi dalam tubuh partai politik di Indonesia bukan karena satu alasan tunggal, di mana alasan itu menjadi penyebab tunggal bagi kekaburan ideologi. Kekaburan ideologi lebih merupakan simpul dari banyak alasan yang menyertai dinamika politik di Indonesia, entah itu alasan kepentingan elite partai politik maupun alasan sistem politik yang tidak jelas di mana negara memberi peluang bagi tumbuh dan berkembangnya partai politik tanpa ideologi.
Dalam tulisan ini, penulis menganalisis kekaburan ideologi-mungkin terlampau radikal kalau disebut ketiadaan ideologi-partai politik di Indonesia dengan menggunakan dua pendekatan yaitu ditinjau dari sis tilik proses terbentuknya sebuah partai politik dan arah atau tujuan pembentukan partai politik. Pertama, proses terbentuknya sebuah partai politik di Indonesia. Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik pasal 2 menyebutkan syarat pembentukan partai politik adalah sebagai berikut:
Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit lima puluh orang warga negara Indonesia yang telah berusia  dua puluh satu tahun. Dan partai politik harus memiliki Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART). Anggaran Dasar meliputi: asas dan ciri Partai Politik; visi dan misi Partai Politik; nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik; tujuan dan fungsi Partai Politik; organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan; kepengurusan Partai Politik; peraturan dan keputusan Partai Politik; pendidikan politik; dan keuangan Partai Politik.
Dari pernyataan undang-undang di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembentukan sebuah partai politik merupakan hasil diskursus berupa kesepakatan beberapa orang, minimal lima puluh orang yang berusia minimal dua puluh satu tahun. Dalam diskursus pembentukan partai politik itu disertakan juga dengan AD partai yang akan dibentuk, sebagaimana dikemukan di atas. Selanjutnya partai politik mengajukan calonnya untuk ikut bertarung dalam bursa pencalonan anggota legislatif atau calon yang menduduki lembaga eksekutif, sebagaimana yang tedapat pada pasal 12 Undang-Undang tersebut. Jadi, partai politik menjadi wahana persiapan seorang kandidat (fungsi edukatif) sekaligus sebagai kendaraan politik yang legitim seturut sistem politik di Indonesia.
Dalam kenyataanya, pembentukan sebuah partai politik di Indonesia sangatlah berorientasi pragmatis. Kepragmatisan dunia politik di Indonesia berawal dari ketergantungan yang begitu tinggi terhadap pemimpin kharismatik. Kekuatan pemimpin kharismatik mendominasi seluruh sistem politik. Bahkan karakter pemimpin kharismatik menjelma menjadi sistem dan budaya dalam organisasi partai politik. Dengan kata lain, partai politik tunduk di bawah figur politik.
Fenomena munculnya banyak partai politik yang ikut dalam persaingan politik pemilu 2009  terjadi karena masing-masing kader politik dalam satu partai politik merasa diri memiliki kharisma memimpin. Dan bagi mereka yang tidak terpilih menjadi ketua partai atau ketiadaan akses untuk memimpin partai akhirnya mendirikan partai politik baru atau partai tandingan. Dan proses pembentukan partai baru ini dibuat sekadar untuk memenuhi hasrat pemimpinnya yang merasa diri berkharisma memimpin. Atau dengan kata lain, partai politik baru didirikan untuk melempiaskan hasrat kuasa dari mereka yang kalah bersaing dalam partainya yang lama.
Pendirian sebuah partai politik bukan berdasarkan hasil konsensus sebagaimana terdapat dalam undang-undang melainkan sekedar memenuhi hasrat kuasa seorang pemimpin yang berkharisma. Dan karakter pemimpin berkharisma itu sekaligus menjadi sistem dalam partai politik yang didirikan itu. Kepentingan pribadi pemimpin politik yang berkharisma kemudian dikonversi menjadi ideologi partai. Partai politik berjalan di atas kepentingan pribadi pemimpin partainya tanpa ideologi yang terpisah dari kepentingan pemimpinnya. Formulasi AD partai politikpun dibuat sekadar formalitas agar partai tersebut lolos verifikasi sementara kinerja partai bersangkutan tidak dibangun atas dasar AD tersebut tetapi atas dasar kepentingan ketua partainya yang dianggap memiliki kharisma. Dengan demikian partai politik tidak mempunyai ideologi tetapi hanya memiliki kepentingan pribadi pemimpin partainya.
 Kedua, analisis ketiadaan ideologi partai politik dari sisi tilik arah atau tujuan yang hendak dicapai partai politik (finalitas). Pascareformasi dunia politik di Indonesia, partai politik memperlihatkan suatu fenomena yang bertolak belakang. Partai-partai politik bersaing sengit sekaligus bekerja sama. Partai politik bersaing di suatu arena kemudian bekerja sama atau bersatu lagi di arena yang lain.  Partai politik bersaing dalam pemilu  dengan berusaha sekuat tenaga untuk menunjukkan kelebihan masiang-masing partai kemudian bersatu lagi pada kesempatan lain atau pada saat proses pembentukan pemerintah. Karakteristik masing-masing partai yang ditunjukkan selama masa pemilu kemudian menghilang dalam proses pembentukan pemerintah.
Kenyataan menarik tentang hal yang digambarkan di atas adalah fenomena koalisi partai politik dalam pemilu presiden tahun 2009 lalu. Pasangan calon presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan wakil presiden Budiono didukung oleh 24 partai politik dari 38 partai politik peserta pemilu legislatif. Itu berarti lebih dari setengah partai politik peserta pemilu legislatif mendukung calon presiden SBY-Budiono (kemudian pasangan ini keluar sebagai pemenang). Yang menarik dari koalisi ini adalah bersatunya partai yang berbasis agama dengan yang nasionalis. Seperti bergabungnya partai-partai yang berbasis agama Islam:  Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pemabangunan (PPP)  dan Partai Amanat Nasional (PAN) dengan Partai Demokrat (PD) yang merupakan partai berhaluan nasionalis.
Koalisi besar pendukung pasangan calon presiden SBY-Budiono tentu bukan berdasarkan kesamaan ideologi antara partai-partai politik itu melainkan berdasarkan power sharing (pembagian kekuasaan). Koalisi berdasarkan power sharing ini menjadi kenyataan tak terbantahkan dalam sistem perpolitikan di Indonesia pascareformasi. Kenyataan bahwa PKS berdiri di samping partai Demokrat di mana keduanya berbeda secara ideologis mengukuhkan kesimpulan bahwa koalisi partai politik di Indonesia dibangun atas power sharing.
Dampak dari koalisi berdasarkan power sharing ini adalah partai politik tidak konsisten dengan karakteristiknya sendiri. Partai politik mudah saja meninggalkan karakteristiknya dan bergabung dengan partai lain walaupun partai itu berbeda secara ideologis demi mendapat kekuasaan di pemerintahan atau parlemen. Sistem politik seperti ini disebut sistem politik kartel. Jadi sistem politik kartel adalah suatu sistem politik yang bersaing atau berkompetisi pada salah satu arena kemudian bersatu lagi pada arena yang lainnya.
Salah satu ciri sistem politik kartel dalam tubuh partai politik adalah batas ideologis di antara partai-partai politik menjadi kabur, dan ideologi politik tidak lagi menjadi penentu perilaku partai. Akibatnya oposisi tidak dikenal lagi. Antitesis dari sistem  politik kartel adalah sistem politik kompetitif. Dalam sistem politik yang kompetitif ideologi partai yang memberikan kharaketristik sebuah partai disingkapkan secara jelas kepada publik atau konstituen agar memudahkan konstituen memberikan penilaian dan keberpihakan. Koalisi yang dibangun oleh sistem politik yang kompetitif berdasarkan ideologi atau program kerja partai politik. Sementara pada sistem politik yang terkartelisasi koalisi partai bisa dilakukan dengan partai mana saja tanpa pertimbangan ideologi dan program kerja partai bersangkutan. Untuk memudahkan perbedaan antara kedua sistem politik ini dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel: Perbedaan sistem politik kompetitif dengan sistem politik Kartel
Dimensi
Sistem Kepartian Kompetitif
Sistem Kepartian Terkartelisasi
Ideologi dan program partai
Faktor penting dalam menentukan prilaku partai
Faktor yang tidak penting dalam menentukan perilaku partai
Perilaku koalisi
Cenderung melakukan koalisi berdasarkanideologi atau program kerja
Longgar dan promiscuous (serba boleh) dalam membentuk koalisi
Metode dalam menangani isu-isu kebijakan
Dijalankan oleh masing-masing partai
Dijalankan oleh berbagai partai sebagai kelompok tunggal.


Kelemahan dasar dalam sistem politik kartel adalah sebagai berikut: pertama, hilangnya peran ideologi partai politik sebagai faktor penentu perilaku koalisi partai. Kedua, tiadanya partai politik oposisi karena semua partai politik membentuk suatu ‘perkoncoan’ politik. Ketiga, hasil-hasil pemilu hampir pasti tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik. Keempat, kuatnya kecendrungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok. Dan sistem ini menyuburkan praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme karena ketiadaan oposisi untuk mengawasi dan mengevaluasi kebijakan publik. Absennya oposisi memberi peluang bagi kesewenangan partai penguasa.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa mengaburnya ideologi partai politik di Indonesia karena politik Indonesia berada dalam suatu sistem kartel bukan berada dalam satu sistem persaingan kompetitif. Tujuan yang hendak dicapai setiap partai politik adalah kekuasaan baik di pemerintahan maupun di parlemen dan untuk mencapai kekuasaan itu partai politik dengan mudah meninggalkan identitasnya. Sistem politik kartel-di mana partai politik menunjukkan ketidakkonsistenannya demi mencapai kekuasaan-menjadikan partai politik di Indonesia tidak memiliki identitas ideologi yang jelas. Demi mencapai tujuan kekuasaan, partai politik rela ‘menggadaikan’ ideologi partainya melalui pembangunan koalisi dengan partai lain walaupun keduanya menganut ideologi yang bersebarangan.
 Salah satu alasan partai politik di Indonesia tidak memiliki ideologi yang jelas karena kekuasaan menjadi tujuan tunggal sebuah partai politik dan demi kekuasaan itu ideologi partai diabaikan. Dengan kata lain, sistem politik Indonesia terjebak dalam sistem politik kartel sebagaimana diuraikan di atas.  Politik kartel merupakan salah satu bentuk dari politik pragmatis di mana seluruh entitas dan seluruh aktivitas partai politik terarah pada pencapaian kekuasaan. Kekuasaan dalam kerangka politik pragmatis selalu bertujuan dalam dirinya sendiri yaitu keuntungan diri penguasa.
Fenomena lain yang menarik untuk dianalisis dalam pemilu 2009 lalu adalah geliat partai politik yang menunjukkan kecenderungan meningkatnya budaya ‘jalan pintas’ (shortcut) yang mendera wajah perpolitikan Indonesia. Pada bagian berikut ini penulis membentangkan indikasi-indikasi sindrom budaya ‘jalan pintas’ dalam dunia politik di Indonesia.


 Meningkatnya Budaya Shortcut

      Kemajuan tehnologi dewasa ini telah terbukti membantu manusia dalam meringankan beban pekerjaannya. Kecanggihan tehnologi telah menyederhanakan pekerjaan manusia. Pekerjaan yang dulunya terasa berat dan membutuhkan perjuangan keras, di era tehnologi seperti sekarang ini berubah menjadi pekerjaan yang amat mudah. Sebagai contoh, kemajuan tehnologi informasi telah memudahkan manusia untuk mengakses berita, memberikan informasi dan berkomunikasi dengan siapa saja dan di mana saja. Bahkan kemajuan tehnologi informasi ini telah mengoyahkan ruang privat manusia sehingga banyak hal yang terjadi di ruang privat dipublikasikan dan ditonton secara beramai-ramai.
 Kemajuan tehnologi memudahkan pemenuhan kebutuhan manusia. Sejalan dengan kemajuan tehnologi ini, manusia dininabobokan dengan kemudahan-kemudahan dalam usaha dan kerjanya. Mentalitas mencari kemudahan atau ‘cari gampang’ telah mewarnai mentalitas manusia zaman tehnologi. Mentalitas ‘cari gampang’ ini telah merasuki seluruh dimensi kehidupan manusia, tak terkecuali dunia politik termasuk politik di Indonesia. Dunia politik Indonesia diwarnai oleh budaya ‘jalan pintas’ (shortcut). semangat jalan pintas nyaris merasuki setiap aktivitas politik, dari rekrutmen anggota, pencalonan wakil partai, memenangkan pemilu bahkan sampai pada pelanggaran terhadap aturan pemilu.
Mentalitas jalan pintas (shortcut) ini diartikulasikan dengan memperpendek proses untuk mencapai tujuan akhir. bagi orang Indonesia, budaya jalan pintas ini bukanlah hal yang baru. Menurut Koentjaraningrat, karakter dasar manusia Indonesia adalah budaya “nrabas” atau jalan pintas. Begitupun dengan dunia perpolitikan Indonesia sangat kental dengan budaya shortcut. Ada beberapa contoh budaya jalan pintas yang tersingkap dalam pemilu 2009 lalu, antara lain maraknya caleg artis dan menjadikan popularitas (bukan popularitas bidang politik) sebagai aset politik. Tentang politik yang mengandalkan popularitas ini telah dibahas di pada bagian ‘individualisasi perjuangan politik’ di atas. Dan pada bagian berikut ini penulis menampilkan salah satu fenomena budaya jalan pintas yang sekaligus representasi dari kentalnya orientasi pragmatis dunia politik Indonesia yaitu keharusan perempuan terlibat dalam dunia politik.


 Keterlibatan Politik Perempuan

            Dalam UU No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik, terutama dalam pasal 2 Undang-Undang itu menegaskan quota 30% keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik dan pasal 8 UU No. 10 tahun 2008 tentang pemilu menegaskna 30% keterwakilan perempuan dalam bursa pencalonan anggota legislatif. Tujuan dari Undang-Undang ini adalah agar kuota keterwakilan perempuan di parlemen bisa mencapai 30%. Artinya, secara hukum sistem perpolitikan Indonesia telah menunjukkan keberpihakannya pada keterlibatan perempuan. Undang-undang ini merupakan suatu bentuk pembelaan terhadap diskriminasi perempuan di ruang publik. Diskriminasi perempuan di ruang publik menurut UU ini diekspresikan  dalam bentuk minimnya kehadiran perempuan dalam ranah politik. Karena itu, UU ini ditetapkan untuk menjamin keterwakilan perempuan di lembaga politik (parlemen).
            Undang-undang ini juga merupakan tanggapan secara hukum atas fakta semakin menjauhnya keterlibatan perempuan dalam dunia politik. Menurut catatan yang dikeluarkan oleh Gender Development Index (GDI) keterlibatan perempuan Indonesia pada ranah politik berada pada peringkat ke 80 dari 156 negara yang diteliti pada tahun 2007 dan menurun lagi pada tahun 2009 menjadi peringkat 90. Artinya perempuan di Indonesia masih belum menikmati hak dan standar yang sama dengan laki-laki dalam dunia politik. Jadi Undang-undang ini adalah suatu bentuk pemberdayaan terhadap keterlibatan perempuan.

Tanggapan Kritis atas Pengkuotaan Keterlibatan politik Perempuan
Penentuan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam bursa pencalonan anggota legislatif pada pemilu 2009 lalu seturut amanah undang-undang no.2 tahun 2008 tentang partai politik merupakan suatu bentuk pemberdayaan perempuan secara hukum. Undang-undang ini lahir dari fakta ketertinggalan perempuan dalam dunia politik. Pertanyaannya adalah, entahkah undang-undang ini sungguh memberdayakan keterlibatan perempuan dalam dunia politik?
Kuota 30% perempuan sebagaimana yang terdapat dalam UU no. 10 tahun 2008 tentang pemilu merupakan tindakan afirmatif (affirmative action) secara hukum untuk meningkatkan keterlibatan perempuan pada ranah politik. Untuk memahami secara benar  affirmative action ini, penulis perlu mengemukakan antitesisnya yaitu negative action. Dalam sistem perpolitikan di Indonesia tidak pernah ada regulasi yang melarang keterlibatan perempuan dalam ranah politk. Semua warga negara bebas berserikat dan berkumpul dan mendirikan organisasi termasuk organisasi politik. Warga negara dijamin oleh negara untuk berkumpul dan berserikat sesuai dengan undang-undang dasar 1945 tanpa ada pembedaan suku, ras, agama dan jenis kelamin. Jadi, tidak ada regulasi yang merupakan antitesis dari keharusan keterlibatan perempuan dalam politik.
Meskipun tidak ada regulasi formal yang melarang keterlibatan perempuan dalam ranah politik, namun kenyataan politik Indonesia menunjukkan rendahnya keterlibatan perempuan. Tabel di bawah ini menunjukkan persentasi keterwakilan perempuan dalam pemilu di Indonesia.
Tabel keterwakilan perempuan di DPR-RI
Pemilu (tahun)
Porsentase keterwakilan perempuan
1955-1960
5,06
1971-1977
7,17
1977-1982
8,04
1982-1987
9,13
1987-1992
11,6
1992-1997
12,6
1999-2004
11,4
2004-2009
10,8
2009-2014
17,34


Tabel di atas menunjukkan rendahnya keterwakilan perempuan di DPR-RI. Porsentasi tertinggi keterwakilan perempuan terjadi pada pemilu 2009-2014 (17,34%) dan terendah terjadi pada pemilu tahun 1955-1960 (5,06 %). Dengan perolehan 17,34 % keterwakilan perempuan di DPR-RI dalam pemilu 2009, apakah hal itu menunjukkan pemberdayaan politik perempuan melalui penetapan kuota 30%  berhasil?
Bila ditinjau dari segi jumlah tampaknya penetapan secara undang-undang kuota 30% dengan menuai hasil 17,34% keterwakilan perempuan adalah strategi yang berhasil. Jika ditelisik lebih cermat dan teliti, pengkuotaan 30% ini sesungguhnya merupakan bentuk pelecehan baru terhadap partisipasi politik perempuan itu sendiri. Penetapan secara undang-undang keterlibatan perempuan justeru menciptakan ketergantungan partisipasi politik perempuan pada undang-undang tersebut. Artinya keterlibatan perempuan terjadi hanya karena amanah undang-undang bukan karena kualifikasinya dalam bidang politik. Efek lanjut dari penetapan kuota partisipasi politik perempuan ini adalah melemahnya perjuangan perempuan dalam bidang politik untuk meningkatkan keahlian politiknya sebab undang-undang telah memberi jaminan atau jatah bagi keterlibatan perempuan. Tanpa harus belajar dan memahami secara benar tentang politik, perempuan bisa saja jadi anggota DPR. Seorang ibu rumah tangga yang tidak tahu-menahu tentang politik bisa saja menjadi anggota DPR karena amanah undang-undang. Partai-partai politik memasukan begitu saja tokoh perempuan dalam kepengurusan partai atau bursa pencalonan anggota legislatif sekedar untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang. Jadi di dalam undang-undang ini terselubung kekerasan politis terhadap perempuan, sebab perempuan tidak disiapkan terlebih dahulu secara politis tetapi langsung ‘dipaksakan’ untuk bertarung dalam dunia politik. Pengkuotaan terhadap partisipasi politik perempuan sesungghnya adalah suatu bentuk kekerasan politik terhadap perempuan.
Peningkatan persentase keterwakilan perempuan pada pemilu 2009 lalu yaitu 17,34 persen sebagaimana terlihat pada tabel di atas, apakah hal ini menunjukkan peningkatan kualifikasi politik perempuan? Hemat penulis peningkatan kuantitas perempuan yang duduk di DPR-RI tidak terlepas dari pengaruh undang-undang pengkuotaan ini. Banyak partai politik berusaha untuk memenangkan caleg perempuannya melalui politisasi undang-undang pengkuotaan ini. Rendahnya jumlah perempuan di parlemen dijadikan sebagai peluang untuk mempromosikan caleg perempuan. Keterpilihan perempuan hanya sekedar untuk meminimalisir dominasi laki-laki dalam hal kuantitas anggota parlemen. Dengan kata lain, keterpilihan caleg perempuan terjadi karena pemilih menganggap perempuan dilecehkan secara politik yang diindikasikan oleh minimnya kehadiran perempuan di parlemen. Perempuan ditempatkan sebagai korban pelecehan secara politik dengan tujuan politik juga yaitu untuk mengundang rasa belaskasihan para pemilih. Jadi, peningkatan persentasi keterwakilan perempuan dalam pemilu 2009 sesungguhnya tidak perlepas dari tehnik ‘politik belaskasihan’ (compassion politics).
Penulis tidak bermaksud meremehkan kemampuan perempuan dalam bidang politik dan compassion politics bukan merupakan tanda ketidakmampuan perempuan. Compassion politics sebenarnya strategi yang dibangun oleh partai politik untuk mendulang suara partai dengan ‘menjual’ isu minimnya jumlah perempuan di parlemen. Isu ini didukung oleh undang-undang pengkuotaan perempuan sehingga semakin meyakinkan pemilih bahwa memang perempuan benar-benar dilecehkan secara politik. Dengan demikian menimbulkan rasa keterharuan dan pada akhirnya caleg perempuan dipilih untuk mengurangi dominasi laki-laki di parlemen. Compassion politik adalah strategi yang dibangun oleh partai politik dengan mempolitisasi undang-undang pengkuotaan perempuan. Dan kepengurusan partai politik di Indonesia masih didominasi oleh laki-laki. Dengan demikian dominasi laki-laki dan pelecehan secara politik terhadap perempuan tetap kuat dalam sistem politik di Indonesia. Penetapan UU ini hanya menghasilkan pola baru dalam melecehkan perempuan secara politik. Porsentase 17,34 keterwakilan perempuan di parlemen bukan merupakan tanda-tanda meningkatnya kemerdekaan politik perempuan melainkan juga indikasi kekerasan terselubung secara politis terhadap perempuan.
Dalam kenyataan dunia perpolitikan di Indonesia tidak terdapat regulasi negara yang melarang perempuan terlibat dalam politik. Pertanyaannya adalah mengapa keterlibatan perempuan sangat minim dalam dunia politik? Hemat penulis rendahnya keterlibatan perempuan dalam dunia politik disebabkan oleh sesuatu yang berada di luar sistem politik itu sendiri yaitu budaya patriakat. Kekangan budaya patriarkat melegitimasi dominasi laki-laki atas semua kebijakan publik. Perempuan didiamkan secara politik merupakan suatu kebajikan dalam budaya patriakat. Budaya inilah yang menjadi biang pelecehan terhadap partisipasi politik perempuan.
Apakah pengkuotaan 30% keterwakilan perempuan dalam bursa pencalonan anggota legislatif merupakan jalan keluar terbaik menghadapi budaya patriarkat ini? Pengkuotaan ini hanya menjerumuskan perempuan dari satu ekstrim kepada ekstrim yang lainnya, dari ketergantungan terhadap laki-laki (budaya patriarkat) kepada ketergantungan terhadap undang-undang. Kedua ekstrim ini sama-sama melecehkan perempuan secara politik. Menurut penulis jalan terbaik untuk menghadapi kejaman budaya patriarkat ini adalah mengefektifkan peran partai politik dalam mendidik dan menjadikan partai politik sebagai pilar demokrasi yang handal di mana partai politik bisa menghasilkan kader-kader politik yang berkualitas. Dan keterlibatan politik perempuan mesti bermula dari partai politik dan tidak dijaring melalui media massa menjelang pemilu.

No comments:

Post a Comment